Science

Apakah kita “ilmuwan” ? Kita tidak akan berbicara tentang science, kita tidak akan membahas tentang apakah kta seorang ilmuwan atau bukan, tetapi kita akan mencoba mencari ilmu, membagai sedikit ilmu yang kita dapat dan jika mungkin kita coba amalkan ilmu yang kita peroleh tersebut walaupun hanya seperti settetes air di lautan luas.

Journey

Apakah kita “ilmuwan” ? Kita tidak akan berbicara tentang science, kita tidak akan membahas tentang apakah kta seorang ilmuwan atau bukan, tetapi kita akan mencoba mencari ilmu, membagai sedikit ilmu yang kita dapat dan jika mungkin kita coba amalkan ilmu yang kita peroleh tersebut walaupun hanya seperti settetes air di lautan luas.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Kamis, 10 September 2009

Sumber Gas CO2 di Laut

Karbondioksida adalah suatu komposisi campuran kimia yang terdiri atas dua atom oksigen kovalent yang terikat pada satu atom karbon. Gas ini berada diatmosfir bumi pada suhu dan tekanan standar. Pada saat sekarang diperkirakan diperkirakan konsetrasi rata-rata secara global berkisar 383 ppm dari volume atmosfer bumi (Whorf, T.P., Keeling, CD,2005), meskipun ha ini bervariasi terhadap lokasi dan waktu.karbo dioxida adalah gas rumah kaca yang penting karena melewatkan cahaya tampak dan menyerap secara kuat cahaya infra merah.
Kelarutan CO2 merupakan salah satu komponen yang mempunyai siklus yang sangat kompleks. Tidak semua aspek dapat dipelajari pada siklus CO2 tersebut. Secara umum kontribusi CO2 total di atmosfer berasal dari juvenil CO2, biosfer, pembakaran fossil, proses-proses industri, kebakaran hutan, aktivitas pertanian, proses respirasi dan up take langsung oleh perairan dari udara melalui permukaan laut. Pada gambar 1 dapat dilihat siklus CO2 yang diproleh dari http://id.wikipedia.org . Konsentrasi CO2 dalam atmosfer sekitar 320 ppm, dimana nilai tersebut dipengaruhi oleh letak termasuk didalamnya ketinggian dari permukaan bumi. Variasi perubahannya terjadi baik secara harian maupun tahunan.

Gambar 1. Siklus Karbon (http://id.wikipedia.org)
Siklus karbon adalah siklus biogeokimia dimana karbon dipertukarkan antara biosfer, geosfer, hidrosfer, dan atmosfer Bumi (objek astronomis lainnya bisa jadi memiliki siklus karbon yang hampir sama meskipun hingga kini belum diketahui).
Dalam siklus ini terdapat empat reservoir karbon utama yang dihubungkan oleh jalur pertukaran. Reservoir-reservoir tersebut adalah atmosfer, biosfer teresterial (biasanya termasuk pula freshwater system dan material non-hayati organik seperti karbon tanah (soil carbon)), lautan (termasuk karbon anorganik terlarut dan biota laut hayati dan non-hayati), dan sedimen (termasuk bahan bakar fosil). Pergerakan tahunan karbon, pertukaran karbon antar reservoir, terjadi karena proses-proses kimia, fisika, geologi, dan biologi yang bermaca-macam. Lautan mengadung kolam aktif karbon terbesar dekat permukaan Bumi, namun demikian laut dalam bagian dari kolam ini mengalami pertukaran yang lambat dengan atmosfer.
Neraca karbon global adalah kesetimbangan pertukaran karbon (antara yang masuk dan keluar) antar reservoir karbon atau antara satu putaran (loop) spesifik siklus karbon (misalnya atmosfer - biosfer). Analisis neraca karbon dari sebuah kolam atau reservoir dapat memberikan informasi tentang apakah kolam atau reservoir berfungsi sebagai sumber (source) atau lubuk (sink) karbon dioksida.
Karbon di atmosfer
Diagram dari siklus karbon (Gambar 1). Angka dengan warna hitam menyatakan berapa banyak karbon tersimpan dalam berbagai reservoir, dalam milyar ton ("GtC" berarti Giga Ton Karbon). Angka dengan warna biru menyatakan berapa banyak karbon berpindah antar reservoir setiap tahun. Sedimen, sebagaimana yang diberikan dalam diagram, tidak termasuk ~70 juta GtC batuan karbonat dan kerogen
Bagian terbesar dari karbon yang berada di atmosfer Bumi adalah gas karbon dioksida (CO2). Meskipun jumlah gas ini merupakan bagian yang sangat kecil dari seluruh gas yang ada di atmosfer (hanya sekitar 0,04% dalam basis molar, meskipun sedang mengalami kenaikan), namun ia memiliki peran yang penting dalam menyokong kehidupan. Gas-gas lain yang mengandung karbon di atmosfer adalah metan dan kloroflorokarbon atau CFC (CFC ini merupakan gas artifisial atau buatan). Gas-gas tersebut adalah gas rumah kaca yang konsentrasinya di atmosfer telah bertambah dalam dekade terakhir ini, dan berperan dalam pemanasan global.
Karbon diambil dari atmosfer dengan berbagai cara:
• Ketika matahari bersinar, tumbuhan melakukan fotosintesa untuk mengubah karbon dioksida menjadi karbohidrat, dan melepaskan oksigen ke atmosfer. Proses ini akan lebih banyak menyerap karbon pada hutan dengan tumbuhan yang baru saja tumbuh atau hutan yang sedang mengalami pertumbuhan yang cepat.
• Pada permukaan laut ke arah kutub, air laut menjadi lebih dingin dan CO2 akan lebih mudah larut. Selanjutnya CO2 yang larut tersebut akan terbawa oleh sirkulasi termohalin yang membawa massa air di permukaan yang lebih berat ke kedalaman laut atau interior laut (lihat bagian solubility pump).
• Di laut bagian atas (upper ocean), pada daerah dengan produktivitas yang tinggi, organisme membentuk jaringan yang mengandung karbon, beberapa organisme juga membentuk cangkang karbonat dan bagian-bagian tubuh lainnya yang keras. Proses ini akan menyebabkan aliran karbon ke bawah (lihat bagian biological pump).
• Pelapukan batuan silikat. Tidak seperti dua proses sebelumnya, proses ini tidak memindahkan karbon ke dalam reservoir yang siap untuk kembali ke atmosfer. Pelapukan batuan karbonat tidak memiliki efek netto terhadap CO2 atmosferik karena ion bikarbonat yang terbentuk terbawa ke laut dimana selanjutnya dipakai untuk membuat karbonat laut dengan reaksi yang sebaliknya (reverse reaction).
Karbon dapat kembali ke atmosfer dengan berbagai cara pula, yaitu:
• Melalui pernafasan (respirasi) oleh tumbuhan dan binatang. Hal ini merupakan reaksi eksotermik dan termasuk juga di dalamnya penguraian glukosa (atau molekul organik lainnya) menjadi karbon dioksida dan air.
• Melalui pembusukan binatang dan tumbuhan. Fungi atau jamur dan bakteri mengurai senyawa karbon pada binatang dan tumbuhan yang mati dan mengubah karbon menjadi karbon dioksida jika tersedia oksigen, atau menjadi metana jika tidak tersedia oksigen.
• Melalui pembakaran material organik yang mengoksidasi karbon yang terkandung menghasilkan karbon dioksida (juga yang lainnya seperti asap). Pembakaran bahan bakar fosil seperti batu bara, produk dari industri perminyakan (petroleum), dan gas alam akan melepaskan karbon yang sudah tersimpan selama jutaan tahun di dalam geosfer. Hal inilah yang merupakan penyebab utama naiknya jumlah karbon dioksida di atmosfer.
• Produksi semen. Salah satu komponennya, yaitu kapur atau gamping atau kalsium oksida, dihasilkan dengan cara memanaskan batu kapur atau batu gamping yang akan menghasilkan juga karbon dioksida dalam jumlah yang banyak.
• Di permukaan laut dimana air menjadi lebih hangat, karbon dioksida terlarut dilepas kembali ke atmosfer.
• Erupsi vulkanik atau ledakan gunung berapi akan melepaskan gas ke atmosfer. Gas-gas tersebut termasuk uap air, karbon dioksida, dan belerang. Jumlah karbon dioksida yang dilepas ke atmosfer secara kasar hampir sama dengan jumlah karbon dioksida yang hilang dari atmosfer akibat pelapukan silikat; Kedua proses kimia ini yang saling berkebalikan ini akan memberikan hasil penjumlahan yang sama dengan nol dan tidak berpengaruh terhadap jumlah karbon dioksida di atmosfer dalam skala waktu yang kurang dari 100.000 tahun.
Karbon di biosfer
Sekitar 1900 gigaton karbon ada di dalam biosfer. Karbon adalah bagian yang penting dalam kehidupan di Bumi. Ia memiliki peran yang penting dalam struktur, biokimia, dan nutrisi pada semua sel makhluk hidup. Dan kehidupan memiliki peranan yang penting dalam siklus karbon:
• Autotroph adalah organisme yang menghasilkan senyawa organiknya sendiri dengan menggunakan karbon dioksida yang berasal dari udara dan air di sekitar tempat mereka hidup. Untuk menghasilkan senyawa organik tersebut mereka membutuhkan sumber energi dari luar. Hampir sebagian besar autotroph menggunakan radiasi matahari untuk memenuhi kebutuhan energi tersebut, dan proses produksi ini disebut sebagai fotosintesis. Sebagian kecil autotroph memanfaatkan sumber energi kimia, dan disebut kemosintesis. Autotroph yang terpenting dalam siklus karbon adalah pohon-pohonan di hutan dan daratan dan fitoplankton di laut. Fotosintesis memiliki reaksi 6CO2 + 6H2O → C6H12O6 + 6O2
• Karbon dipindahkan di dalam biosfer sebagai makanan heterotrop pada organisme lain atau bagiannya (seperti buah-buahan). Termasuk di dalamnya pemanfaatan material organik yang mati (detritus) oleh jamur dan bakteri untuk fermentasi atau penguraian.
• Sebagian besar karbon meninggalkan biosfer melalui pernafasan atau respirasi. Ketika tersedia oksigen, respirasi aerobik terjadi, yang melepaskan karbon dioksida ke udara atau air di sekitarnya dengan reaksi C6H12O6 + 6O2 → 6CO2 + 6H2O. Pada keadaan tanpa oksigen, respirasi anaerobik lah yang terjadi, yang melepaskan metan ke lingkungan sekitarnya yang akhirnya berpindah ke atmosfer atau hidrosfer.
• Pembakaran biomassa (seperti kebakaran hutan, kayu yang digunakan untuk tungku penghangat atau kayu bakar, dll.) dapat juga memindahkan karbon ke atmosfer dalam jumlah yang banyak.
• Karbon juga dapat berpindah dari bisofer ketika bahan organik yang mati menyatu dengan geosfer (seperti gambut). Cangkang binatang dari kalsium karbonat yang menjadi batu gamping melalui proses sedimentasi.
• Sisanya, yaitu siklus karbon di laut dalam, masih dipelajari. Sebagai contoh, penemuan terbaru bahwa rumah larvacean mucus (biasa dikenal sebagai "sinkers") dibuat dalam jumlah besar yang mana mampu membawa banyak karbon ke laut dalam seperti yang terdeteksi oleh perangkap sedimen [1]. Karena ukuran dan kompisisinya, rumah ini jarang terbawa dalam perangkap sedimen, sehingga sebagian besar analisis biokimia melakukan kesalahan dengan mengabaikannya.
Penyimpanan karbon di biosfer dipengaruhi oleh sejumlah proses dalam skala waktu yang berbeda: sementara produktivitas primer netto mengikuti siklus harian dan musiman, karbon dapat disimpan hingga beberapa ratus tahun dalam pohon dan hingga ribuan tahun dalam tanah. Perubahan jangka panjang pada kolam karbon (misalnya melalui de- atau afforestation) atau melalui perubahan temperatur yang berhubungan dengan respirasi tanah) akan secara langsung mempengaruhi pemanasan global.
Karbon di laut
Laut mengandung sekitar 36.000 gigaton karbon, dimana sebagian besar dalam bentuk ion bikarbonat. Karbon anorganik, yaitu senyawa karbon tanpa ikatan karbon-karbon atau karbon-hidrogen, adalah penting dalam reaksinya di dalam air. Pertukaran karbon ini menjadi penting dalam mengontrol pH di laut dan juga dapat berubah sebagai sumber (source) atau lubuk (sink) karbon. Karbon siap untuk saling dipertukarkan antara atmosfer dan lautan. Pada daerah upwelling, karbon dilepaskan ke atmosfer. Sebaliknya, pada daerah downwelling karbon (CO2) berpindah dari atmosfer ke lautan.
Dari hasil pengamatan tentang distribusi karbon dalam berbagai bentuk yang terdapat di atmosfer dan biosfer disajikan pada Tabel 1. Dalam tabel tersebut terlihat bahwa karbon dalam bentuk sedimen memiliki jumlah terbesar.
Tabel 1. Jumlah Karbon dalam Batuan Sedimen, Hidrosfer, Atmosfer dan Biosfer

Sumber data: www.sasked.gov.sk.ca/docs/chemistry.
Solubility (Daya Larut)
Daya larut CO2 dari udara ke dalam air sangat tergantung dari tekanan parsial CO2 di udara dan dalam air. Konsentrasi (aktivitas) CO2 atau gas-gas lainnya (substansi yang mudah menguap) di dalam zat cair dapat selalu digambarkan dalam pengertian unit konsentrasi atau dalam pengertian lain tekanan parsial dalam media cair (Partial Pressure Gas in Solution), hal ini bahwa tekanan CO2 di dalam fase gas akan berada dalam keadaan setimbang. CO2 dan memiliki keterkaitan dalam Hukum Henry, yakni jika suatu sistem (cair) dalam keadaan setimbang dalam fase gas, maka tekanan parsial gas dalam media lain sebanding dengan tekanan parsial gas dalam fase gas. CO2 mengalami penurunan daya larut dengan peningkatan suhu hal ini dapat dilihat pada gambar 2. Yang mana dengan semakin meningkatnya suhu kelarutan CO2 dalam gram per 100 liter air menurun.

Gambar 2. Grafik Hubungan kelarutan CO2 dengan Temperatur (http://jcbmac.chem.brown.edu).
Unsur pokok bahan anorganik yang terdapat di perairan dan atmosfer memiliki asal-usul yang sama. CO2 di atmosfer adalah asam yang dapat bereaksi dengan batu-batuan yang mengandung basa. Selain itu juga disebutkan bahwa badan air juga kehilangan karbon terlarut karena masuk kedalam sedimen melalui proses presipitasi. Perombakan dan reaksi presipitasi ini diwakili oleh CaCO3 (s).
Reaksi-reaksi diatas dan reaksi-reaksi HCO3- serta CO32- (alkali) yang hampir sama masuk atau keluar dari perairan. Penambahan CO2 di atmosfer juga merupakan akibat aktivitas vulkanik dan melalui pembakaran fosil-fosil. Reduksi CO2 terjadi pada saat fotosintesis berlangsung dan dibebaskan kembali pada saat respirasi dan oksidasi oleh bahan-bahan organik.
Sistem Karbonat (Carbonate System)
Laut memiliki kemampuan dalam menampung CO2 yang berasal dari atmosfer meskipun laut juga bukan merupakan sebuah wadah yang mampu melarutkan semua bahan yang masuk kedalamnya melainkan sebuah sistem berlapis (layered system). Ada beberapa macam model yang telah diusulkan bagi layered system ini dan ada sebuah model paling sederhana yang sesuai dengan sistem ini dimana atmosfer hanya memiliki kontak/hubungan langsung dengan lapisan permukaan laut di atas thermocline. Turn-over dari lautan lambat dan jika kesetimbangan antara atmosfer dan lapisan permukaan dicapai dengan cepat maka kesetimbangan total lautan akan terjadi berabad-abad.
Selain itu oleh Sumich (1992) mengemukakan, bahwa air laut biasanya memiliki kemampuan yang sangat besar untuk menyerap CO2 bergabung dengan air untuk menghasilkan asam lemah, asam karbonat (H2CO3). Khususnya asam karbonat memisahkan diri dari bentuk hidrogen (H+) dan ion bikarbonat (HCO3-) atau 2 ion H+ dan 1 ion carbonat (CO32-) yang reaksinya sebagaimana dituliskan di atas. Asam karbonat, bikarbonat dan sistem karbonat di air laut berfungsi sebagai penyangga atau untuk membatasi perubahan pH air laut. Jika ion H+ berlebihan maka akan terjadi perubahan pH.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Distribusi CO2 Dalam Air Laut
Faktor-faktor yang mempengaruhi distribusi CO2 dalam air laut telah lama dipelajari oleh para ahli. Salah satu studi yang dikembangkan dalam hal ini adalah program GEOSECS yang banyak menghasilkan beragam informasi tentang sistem CO2. Penelitian ini dilakukan didua samudera yakni Pasifik Utara (204, 31N, 150E) dan Atlantik Utara (115, 28N, 26W) untuk menunjukan keterkaitan kedalaman pada dua samudera tersebut (Riley, J.P and Skirrow, G., 1975; Vetter, 1974; Millero and Sohn 1992).
Adapun beberapa parameter yang mempengaruhi distribusi CO2 dalam air laut adalah sebagai berikut :
pH (Derajat Keasaman)
pH dalam permukaan air laut dalam keadaan setimbang dengan atmosfir adalah berkisar antara 8.2  0.1. Pada kolom air yang tertutup atau relatif kecil variasi pH menunjukan diurnal dan berada antara 8.2 – 8.9. Penurunan pH hingga minimum terjadi pada malam hari karena adanya proses respirasi oleh organisme yang menghasilkan CO2 dan meningkat pada siang hari ketika fotosintesis berlangsung, di mana CO2 dimanfaatkan hingga konsentrasinya menurun sebagaimana terlihat pada gambar 3.
Dari hasil penelitian menunjukan bahwa pH minimum terjadi pada kedalaman 1000 m bersamaan juga dengan kondisi O2 yang juga minimum akan tetapi Tekanan Parsial CO2 meningkat. Peningkatan pH di laut dalam terjadi karena kelarutan (dissolution) dari CaCO3, di mana pH bisa mencapai 7.5 pada kedalaman 1000 m. Pada kedalaman yang lebih dalam pH bisa mencapai maksimum akibat adanya tekanan ionisasi asam karbonat .

Gambar 3. Log konsentrasi ion CO2, HCO3- dan CO32- terlarust pada pH, salinitas, Temperatur dan Tekanan berbeda.( Zeebe, Richard E. and Wolf-Gladrow, Dieter. 2003)
Menurut Sumich (1992), bahwa kelimpahan ion H+ dalam air laut dipengaruhi oleh keasaman larutan perairan yang diukur pada skala 0 – 14. Di mana pH rendah menunjukan derajad keasaman yang tinggi dan mewakili konsentrasi H+ yang tinggi. pH 14 menunjukan keadaan yang sangat basa (alkaline) dan memiliki konsentrasi ion H+ yang rendah.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa asam karbonat, bikarbonat dan sistem karbonat di air laut dapat berfungsi sebagai penyangga atau untuk membatasi perubahan pH air laut, di mana apabila dalam suatu perairan hadir ion hidrogen dalam jumlah besar maka pH perairan tersebut akan menjadi asam begitupun sebaliknya. Pada perairan terbuka sistem penyangga berjalan sangat efektif di mana angka pH air laut terbatas pada range 7.5 – 8.4. Sistem yang dinamis ini berfungsi sebagai tempat penampungan kritis bagi CO2 yang diakumulasi dari udara dan sebagai akibat dari aktivitas manusia di daratan.
Alkalinitas (AT)
Pada permukaan salinitas dapat mempengaruhi alkalinitas, hal ini terlihat dari hasil penelitian program GEOSECS diperoleh bahwa alkalinitas di Samudera Atlantik Utara lebih tinggi daripada Samudera Pasifik Utara, hal ini disebabkan oleh pengaruh salinitas akibat adanya evaporasi yang tinggi di Atlantik, sehingga salinitasnya akan meningkat.
Sedangkan pada kedalaman laut yang lebih dalam alkalinitas akan sangat dipengaruhi oleh kelarutan CaCO3. Alkalinitas Pasifik Utara pada kedalaman yang lebih dalam lebih tinggi dibandingkan dengan alkalinitas di Atlantik Utara pada kedalaman yang sama (Gambar 4). Hal ini dikarenakan samudera Pasifik sebelah utara memiliki umur lebih tua sehingga mengakumulasi CO32- lebih banyak.

Gambar 4. Profil Alkalinitas Total Berdasarkan Kedalaman di Samudera Atlantic dan Pasifik, (Millero dan Sohn, 1992).
Alkalinitas permukaan antara 40 S dan 40 N adalah konstan (AT = 2,32 meq kg1- or S. A. = AT/Cl = 0,120). Hal ini ada hubungannya dengan sifat HCO3- di dalam air laut. Perbedaan ini bisa dihubungkan dengan pertumbuhan organisme dengan kulit/kerang CaCO3 ( foraminifera dan pterpods). Karena organisme ini menyukai air hangat sehingga ketika S.A rendah maka semakin besar pembentukan CaCO3 (kulit/kerang). Maka AT untuk perairan Atlantic akan sangat dipengaruhi oleh kondisi ini.
CO2 Total (CO2)
Total karbon dioksida (CO2) anorganik terlarut di permukaan laut ditunjukan pada gambar 5. Tidak seperti alkalinitas total CO2 di perairan equator menunjukan kenaikan yang besar, hal ini disebabkan oleh adanya equatorial upwelling (upwelling pada daerah equator). Hal ini juga dijelaskan oleh Broecker dan Peng (1952) bahwa level total CO2 dan di permukaan air berhubungan dengan pertukaran antara CO2¬ di udara dan CO2 di perairan (Gambar 6). Pertukaran yang berlangsung lambat menyebabkan di perairan lebih besar dibandingkan dengan angka di atmosfer yang terdapat di dekat equator dan rendah di perairan kutub.

Gambar 5. Nilai Total Karbon Dioksida di Permukaan dan Total Alkalinitas Normal (Broecker dan Peng, 1982 dalam Millero dan Sohn, 1992).
Perubahan lintang akan mempengaruhi total karbon dioksida (CO2). Untuk pertukaran yang berlangsung dengan cepat di air dan di udara hampir sama sedangkan jumlah CO2 lebih tinggi di daerah kutub.
Akibat efek penyangga air laut, hanya sejumlah kecil dari CO2 yang butuh dipindahkan ke dalam perairan untuk mengembalikan kondisi kesetimbangan antara udara dan perairan laut. Sistem penyaggaan seperti ini disebut Revelle Factor (R) yakni rasio kenaikan fraksi di dalam tekanan parsial CO2 di atmosfer terhadap kenaikan fraksi total karbon dioksida di perairan.

Gambar 6. Tekanan Parsial Karbon Dioksida di Permukaan Perairan dengan perubahan yang cepat dan lambat antara udara dan perairan (Millero dan Sohn, 1992).
Profil CO2 berdasarkan kedalaman di samudera Atlantik dan Pasifik ditunjukan pada gambar 7. Angka di permukaan berkisar 2.05 mmol/kg. Penurunan menjadi minimum di permukaan perairan disebabkan adanya proses fotosintesis. Sedangkan pada kedalaman yang lebih dalam CO2 meningkat, hal ini disebabkan adanya oksidasi oleh material tumbuhan. Angka CO2 disamudera Pasifik yang lebih dalam lebih tinggi di Atlantik, karena massa air di Pasifik lebih tua sehingga memiliki waktu yang cukup panjang untuk mengakumulasi CO2 oleh oksidasi mikroba.
CO2 dan AT memiliki hubungan yang sangat erat satu sama laiinya dan dapat digunakan untuk menentukan ciri-ciri dari beberapa massa air.

Gambar 7. Profil CO2 Total Berdasarkan Kedalaman di Samudera Atlantic dan Pasifik
Tekanan Parsial CO2
Pengukuran terhadap Tekanan Parsial CO2 di atmosfer dan lautan telah banyak dilakukan oleh ilmuwan salah satunya Keeling (1958) di Mauna Loa (Hawaii). Dari hasil penelitian yang dilakukan kurang lebih 24 tahun terakhir, diperoleh kesimpulan bahwa peningkatan CO2 di atmosfer disebabkan oleh pembakaran fosil-fosil. Di mana penambahan konsentrasi CO2 di udara tegak lurus dengan jumlah pembakaran fosil, akan tetapi jumlah konsentrasi CO2 di udara hanya setengah dari jumlah yang diperkirakan. Hal ini ternyata disebabkan oleh adanya adsorbsi oleh lautan.
Dari beberapa pengamatan terakhir pada lokasi perairan lain (Alaska dan kutub Selatan) menunjukan hal yang sama dengan pengamatan Keeling (1958) akan tetapi ternyata variasi siklus tahunan CO2 di Alaska lebih besar dibanding perairan lain, di mana rata-rata peningkatannya itu sebesar 1.5 ppm pertahun. Sedangkan dari hasil pengamatan secara musiman diperoleh bahwa CO2 maksimum terjadi pada bulan April dan Mei dan minimum terjadi pada bulan September dan Oktober. Hal ini dikarenakan oleh variasi proses fotosintesis dan respirasi oleh tumbuhan di darat (sedangkan dilautan tidak ada data yang cukup)
Dari hasil pengamatan tersebut di atas dan hasil analisis oleh Millero and Sohn (1992) menyimpulkan bahwa perubahan Tekanan Parsial CO2 dipermukaan perairan disebabkan oleh :
a. Pengurangan akibat fotosintesis
b. Pengurangan akibat pembentukan CaCO3
c. Pengurangan akibat pemanasan bumi
d. Penambahan akibat oksidasi oleh material tumbuhan
e. Penambahan akibat penguraian CaCO3
f. Penambahan akibat peningkatan CO2 di atmosfer akibat pembakaran fosil
Penguraian semua efek ini kadang-kadang lebih sulit akibat respon yang lambat dari perubahan laut di level CO2 di atmosfer. Seperti gas-gas yang lain pada umumnya, kekuatan yang menggerakan CO2 dari udara ke permukaan laut adalah perbeadaan konsentrasi di atmosfer dan perairan. Jika terjadi perubahan/pertukaran yang cepat maka di atmosfer menjadi setimbang dengan di perairan.

Gambar 8. Profil Berdasarkan Kedalaman di Samudera Atlantic dan Pasifik

Profil berdasarkan kedalaman untuk samudera Atlantic dan Pasifik ditunjukan pada gambar 8. Nilai-nilai tersebut diperoleh dari hasil penjumlahan AT dan CO2, sehingga tidak memiliki keakuratan yang paling baik. Berdasarkan gambar tersebut terlihat bahwa pada laut yang lebih dalam di samudera Pasifik lebih tinggi bila dibandingkan dengan samudera Atlantik, hal ini disebabkan massa air di Pasifik lebih tua dan akibat produktifitas yang lebih tinggi dipermukaan, (Riley and Skirrow, 1975; Millero and Sohn, 1992).
Daftar Pustaka

Millero, F.J. and Sohn M.L., 1992. Chemical Oceanography. CRC Press Boca Raton Ann Arbor London.
Nyabakken, J.W., 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Penerbit PT Gramedia. Jakarta.
Riley, J.P and G.Skirrow, 1975. Chemical Oceanography Volume 2 2ND Edition. Academic Prees. New York.
Stumm, M. And Morgan J.J., 1970. Aquatic Chemistry An Introduction Emphasizing Chemical Equilibria in Natural Waters. By John Willey and Sons, Inc. New york.
Sumich, J.L., 1992. An Introduction to the Biology of Marine Life 5th Edition. Wm.C. Brown Publishers, USA.
Svedrup, H.V.; M.W. Jhonson. and R. H. Fleming, 1942. The Oceans Their Physics, Chemistry and Biology. Prentice-Hall Inc. Englewood Cliffs, New York.
Vetter, R.C., 1974. Oceanography The Last Frontier. Forum Editor, Voice of America, United States Information Agency, Washington, D.C.
Whorf, T.P., Keeling, CD (2005). "Atmospheric CO2 records from sites in the SIO air sampling network.". Period of record: 1958-2004.
Zeebe, Richard E. and Wolf-Gladrow, Dieter. 2003.Co 2 In Sea Water: Equilibrium, Kinetics, Isotopes. ELSEVIER SCIENCE B.V.: Amsterdam, The Netherlands.
http://id.wikipedia.org/wiki/Siklus_karbon. Diakses 18 Januari 2008
http://scifun.chem.wisc.edu/chemweek/pdf/CarbonDioxide.pdf
http://jcbmac.chem.brown.edu/myl/hen/CO2Water.gif

Bermuda Triangle of Indonesia

Dua kecelakaan lalulintas pada awal tahun ini sangat memperihatinkan. Yang pertamana kecelakaan lalulintas laut yang menimpa kapal laut Senopati Nusantara, yang kedua kecelakaan Pesawat Adam Air. Keduanya diduga terjadi pada waktu yang berdekatan di kawasan yang sama berdekatan juga di laut Utara Jawa, dan yang satu di seputar Masalembo.Duapuluh enam tahun yang lalu KM Tampomas II terbakar di laut dan karam pada tanggal 27 Januari 1981. Ah kenapa pada bulan-bulan yang sama ya ? memang bulan-bulan ini merupakan bulan-bulan puncak perubahan musim seantero Indonesia yang kepulauannya berada di sekitar katulistiwa. Tetapi kenapa kejadian kecelakaan ini di lokasi yang kira-kira sama ? Ah jangan-jangan barangkali mungkin saja …
Pulau Masalembo sebenarnya sebuah pulau kecil yang berada di ujung Paparan Sunda (hayo masih ingat Paparan Sunda dan Paparan Sahul nggak ?, ini pelajaran SD dulu kan ?). Pulau-pulau kecil ini berada di daerah “pertigaan” laut yaitu laut jawa yang berarah barat timur dan selat Makassar yang memotong berarah utara-selatan.Pola kedalaman laut di Segitiga Masalembo ini sangat jelas menunjukkan bentuk segitiga yang nyaris sempurna berupa segitiga sama sisi.
Pada peta kedalaman laut atau peta bathymetri diatas dapat dilihat adanya bentuk kepulauan yang berbentuk segitiga. Tinggian yang terdiri beberapa pulau-pulau ini saya sebut sebagai “SEGITIGA MASALEMBO” atau “THE MASALEMBO TRIANGLE“. Nah, ada apa saja di daerah seputaran Segitiga Masalembo ini. Coba kita buka-buka dikit-dikit ya. Tapi jangan mengharap banyak dari sisi mistisnya, akan lebih banyak saya urai sisi kebumian dan kelautannya saja.
Pertemuan ARLINDO (Arus Laut Indonesia)
Indonesian Throughflow (ARLINDO), indicate the relationship between the relationship between ARLINDO and El-Nino Southern Oscillation (ENSO) (Source, Gordon, A., ) Di atas ini digambarkan arus laut di Indonesia, terutama Indonesia Timur. Coba perhatikan arus yang melewati Segitiga Masalembo ini. Pada bagian atas (garis hijau) menunjukkan air laut mengalir dari barat memanjang di Laut Jawa, berupa monsoonal stream atau arus musiman. Arus ini sangat dipengaruhi oleh cuaca dan musim. Sedangkan dari Selat Makassar ada arus lain dari utara yang merupakan thermoklin, atau aliran air laut akibat perbedaan suhu lautan. Kedua arus ini bertemu di sekitar Segitiga Masalembo. Yah, tentusaja arus ini akan sangat mempengaruhi pelayaran laut disini. Arus musiman ini sangat dipengaruhi juga oleh suhu air laut akibat pemanasan matahari tentusaja. Kalau anda masih inget bahwa lintasan matahari itu bergerak bergeser ke-utara-selatan dengan siklus tahunan. Itulah sebabnya pada bulan-bulan Januari yang merupakan saat perubahan arus musiman (monsoon).
Apa menariknya dari ARLINDO ini ? Arus ini membawa air laut dingin dari Samodra Pasifik ke Samodera Indonesia diduga dengan debit hingga 15 juta meterkubik perdetik !!! Dan hampir keseluruhannya melalui Selat Makassar !. Tentunya aliran air sebesar ini bukan sekedar aliran air saja. Banyak aspek lain yang ikut mengalir dengan aliran air sebanyak itu, misalnya akan terdapat pula aliran ikan-ikan laut, aliran sedimen laut, juga aliran temperatur air. Apa saja efek aliran ini dengan proses kelautannya sendiri ? Wah tentunya banyak sekali.
Pada profil dasar selat Makassar diatas terlihat batuan kalimantan dan batuan sulawesi berbeda, kalau masih ingat yang aku tulis tentang pembentukan Patahan-patahan di Jawa, maka tentunya mudah dimengerti. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan mencolok antara Indonesia barat dengan Indonesia Timur, sebelumnya. Kalimantan merupakan bagian dari Paparan Sunda (Indonesia Barat) sedang Sulawesi merupakan bagian dari Indonesia Timur. Nah garis yang membaginya dulu diketemukan oleh Wallace disebut sebagai Garis Wallace (Wallace Line). Garis Wallace ini sebenernya hasil penelitian satwa Indonesia Barat-Timur, namun sebenarnya ada juga implikasi atau manifestasi dari aspek geologis (batuan penyusunnya).
Dari Batuannya kita tahu bahwa dibawah selat makasar ini terdapat tempat yang sangat kompleks geologinya, diatasnya terdapat selat Makassar yang juga memilki karakter khusus di dunia ini dimana mengalirkan air yang sangat besar.Apa yang terlihat lagi ? Ya tentunya ada aspek meteorologis yang memisahkan antara daerah diatas air dengan daerah diatas daratan yaitu awan. Awan merupakan fenomena khusus yang paling banyak dijumpai diatas daratan. Itulas sebabnya kalau sedang di tengah laut coba tengok ke atas, carilah awan. Awan yang berarak akan lebih banya terdapat di daratan ketimbang di atas lautan seperti gambaran diatas.
Apa lagi selain awan ? Angin, ya angin juga akan berhembus karena perbedaan tekanan udara panas. Pada malam hari saat bertiupnya angin darat, para nelayan pergi menangkap ikan di laut. Sebaliknya pada siang hari saat bertiupnya angin laut, para nelayan. Perubahan angin darat laut karena suhu ini berubah dalam siklus harian, namun tentunya ada juga siklus tahunannya atau disebut siklus monsoon. Looh Monsoon, kok sepertinya juga ada monsoonal stream yang ada di Arlindo digambar atas. Ya, memang itulah siklus-siklus arus angin, siklus air itu bertemu bercampur di segitiga Masalembo ini. Runyem kan ?
Seringkali daerah Segitiga Bermuda dihubungkan dengan kondisi magnetisme. Adakah peta magnetik daerah Segitiga Masalembo ini ? Nah aku beri sekarang peta deklinasi magnetik secara global seperti dibawah ini.
Tiga peta diatas menunjukkan intesitas magnetik total, peta deklinasi, dan perubahan deklinasi tahunan (sumber NOAA). Kalau tertarik detilnya tinggal di klik saja. Yang dapat dilihat dalam ketiga peta itu adalah, tidak adanya sesuatu yang mencolok baik di Segitiga Bermuda maupun di Segitiga Masalembo. Memang sejak dulu seringkali yang menyatakan adanya keanehan kompas magnetik apabila melalui daerah angker ini. Secara fisik (pengukuran magnetik) tidak terlihat anomali itu. Hanya terlihat bahwa Indonesia secara umum merupakan daerah yang memiliki deklinasi dan iklinasi sangat kecil. Dan merupakan daerah yang memiliki total intensitas magnetik rendah, barangkali karena Indonesia merupakan daerah yang relatif “muda” dibandingkan daerah2 lain.
Kalau dibandingkan dengan Segitiga Bermuda, lokasi Segitiga Masalembo juga tidak menunjukkan keanehannya. Sepertinya keangkeran segitiga Masalembo ini lebih ditentukan oleh faktor gangguan alamiah yang bukan mistis. Yang mungkin paling dominan adalah faktor meteorologis termasuk didalamnya faktor cuaca, termasuk didalamnya angin, hujan, awan, kelembaban air dan suhu udara yang mungkin memang merupakan manifestasi dari konfigurasi batuan serta kondisi geologi, oceaografi serta geografi yang sangat unik.
Kalau memang Masalembo Triangle ini banyak menimbulkan masalah transportasi (lalulintas), tentunya perlu rambu-rambu lalulintas laut yang lebih canggih ditempatkan di lokasi ini. Tetapi bukan berarti zona terlarang masa sih kita tidak boleh melewatinya sepanjang masa. Misalnya mercusuar khusus, penempatan radar pemantau. Juga yang tak kalah penting penelitian saintifik tentang perilaku arus air laut, serta cuaca di daerah ini.

Minggu, 06 September 2009

Efek TBT Terhadap Organisme

Lautan telah lama dikenal sebagai salah satu ekosistem yang paling besar, paling kompleks dan paling dinamis di dunia. Interaksi antara faktor fisik, kimia dan biologi yang terjadi di lautan berlangsung sangat cepat dan terus menerus sehingga amat menentukan kondisi ekosistem yang ada di lingkungan perairan tersebut. Organisme yang ada harus mampu beradaptasi, baik secara morfologis maupun fisiologis untuk dapat bertahan hidup. Selain menjadi habitat bagi organisme, laut juga menjadi sumber bahan pangan, media transportasi, sumber bahan tambang, sumber energi, sumber mineral dan obat-obatan yang sangat penting. Adanya gangguan terhadap lautan dan ekosistemnya baik secara langsung ataupun tidak langsung akan sangat berpengaruh terhadap kehidupan manusia.
Salah satu kelompok organisme penyusun ekosistem laut adalah bentos. Kelompok ini umumnya hidup di dasar perairan dengan melekatkan diri pada substrat atau membenamkan diri di dalam sedimen. Di perairan sekitar pantai terutama daerah pelabuhan, banyak ditemukan makrozoobentos yang hidup melekat pada tiang dermaga, talut penahan abrasi dan bangunan pemecah ombak. Seringkali, makrozoobentos terutama dari kelompok Bivalvia hidup menempel (biofouling) pada lunas-lunas kapal.
Menurut Brady et. al (2006), berbagai jenis tiram, bernakel dan algae yang menempel pada lunas dan baling-baling kapal akan mengurangi kemampuan manuver kapal dan memperlambat laju/kecepatan kapal sehingga meningkatkan konsumsi bahan bakar. Hal ini sangat merugikan pemilik kapal, terutama kapal-kapal berukuran besar seperti kapal kargo dan tanker yang menghabiskan waktu berbulan-bulan berlayar di laut lepas. Selain itu, biofouling juga dapat mempercepat terjadinya korosi pada lunas kapal yang dapat meningkatkan resiko kebocoran dan mengurangi usia pakai kapal.
Untuk mencegah terjadinya biofouling, sejak akhir tahun 1960-an telah digunakan cat kapal yang diberi senyawa antifouling khusus yang dikenal dengan nama Tributyl Tin (TBT). Senyawa ini sangat efektif membunuh larva maupun hewan penempel dewasa (Dobson dan Cabridenc, 1990). Penggunaan TBT ini ternyata menimbulkan dampak negatif bagi ekosistem laut (Walmsley, 2006; Langston, 2006).
Dalam waktu yang tidak lama setelah dimulainya penggunaan TBT sebagai senyawa antifouling, Blaber (1970) dalam Brady et. al., (2006), melaporkan bahwa populasi keong Nucella lapillus atau “dogwhelk” di sepanjang pantai Inggris (UK) mengalami kelainan, di mana pada hewan betina terbentuk semacam organ penis dan vas deferens. Beberapa tahun kemudian diketahui bahwa kelainan pada keong tersebut diakibatkan oleh TBT dan dikenal sebagai Imposex. Hewan betina dan jantan yang mengalami Imposex tidak dapat bereproduksi sehingga populasi jenis keong ini di pantai-pantai Inggris menurun secara drastis.
TBT tergolong senyawa yang sangat beracun dan secara alami sangat sulit diuraikan (resisten). Dengan demikian, kemungkinan terpaparnya organisme laut yang habitatnya terkontaminasi oleh TBT akan semakin besar. Bioakumulasi TBT dapat ditemukan di seluruh jaringan tubuh, organ dan sistem organ dari makrozoobentos yang hidup di laut. Namun, efek bioakumulasi TBT yang paling berbahaya adalah kegagalan pada sistem reproduksi karena akan mengakibatkan penurunan populasi yang diikuti kepunahan spesies dan berujung pada gangguan ekosistem secara keseluruhan.
Gangguan pada sistem reproduksi seperti terjadinya imposex akibat bioakumulasi TBT telah banyak diketahui sehingga menjadi salah satu indikator utama tercemarnya suatu perairan oleh senyawa organotin. Namun mekanisme fisiologi yang terjadi khususnya pada sistem reproduksi, sebagian masih menjadi misteri. Berdasarkan hal tersebut, maka kami mencoba untuk mengkaji efek bioakumulasi TBT terhadap makrozoobentos khususnya mekanisme fisiologi sistem reproduksi dari Gastropoda.
Bentos merupakan salah satu kelompok organisme yang berperan penting dalam ekosistem laut. Berbagai jenis hewan (zoobentos) dan tumbuhan (fitobentos) yang hidup di dasar perairan tergolong dalam kelompok organisme ini. Berdasarkan ukurannya, bentos dibagi menjadi 3 (Mare, 1942; Coull dan Wales 1983 dalam Knox, 2001), yaitu : mikrobentos (<= 500 µm), meiobentos (500-1000 µm) dan makrobentos (>=000 µm). Dengan demikian, tumbuhan yang berukuran besar dan hidup di dasar perairan disebut makrofitobentos dan hewan berukuran besar yang hidup di dasar perairan di sebut makrozoobentos (Knox, 2001).
Selain berdasarkan ukurannya, pengelompokan organisme bentos juga dilakukan berdasarkan tempat hidupnya atau kemampuan untuk berpindah tempat. Berdasarkan tempat hidupnya, bentos dibagi menjadi 2, yaitu : jenis bentos yang hidup di permukaan dasar perairan (epifauna) dan jenis organisme yang hidup dengan mengubur diri di dalam sedimen atau membuat liang di dasar perairan (infauna). Sedangkan berdasarkan kemampuan untuk berpindah tempat, hewan bentos dibagi menjadi 2, yaitu : hewan yang melekat pada substrat (sesil) dan hewan yang aktif berpindah tempat (motil) (Knox, 2001).
Istilah fouling atau biofouling digunakan untuk mendeskripsikan pertumbuhan dan akumulasi organisme akuatik yang hidup pada permukaan benda keras yang dibangun atau dibuat oleh manusia. Perhatian terhadap biofouling mulai meningkat seiring dengan disadarinya dampak negatif yang timbul akibat penempelan organisme pada lunas dan baling-baling kapal, pelampung, pipa, kabel dan bangunan bawah air lainnya. Sejak pertama kali dibenamkan ke dalam air, permukaan dari struktur buatan manusia mengalami perubahan seiring waktu akibat dari pengaruh eksternal yang bervariasi seperti lokasi, musim serta faktor fisik dan biologi lainnya. Komunitas fouling yang tumbuh pada permukaan benda buatan manusia yang terbenam juga mengalami proses suksesi hingga mencapai fase klimaks. Peneliti telah menemukan 2 tahap yang berbeda dari proses penempelan pada substrat keras. 1). Tahap primer atau tahap mikrofouling dan 2). Tahap sekunder atau tahap makrofouling (Bortman, et al. 2003).
Proses fouling pada permukaan substrat keras (benda buatan manusia) diawali dengan penempelan mikroorganisme terutama oleh bakteri dan diatom yang tumbuh berlipat kali secara cepat. Bersama dengan debris dan bahan organik partikulat lainnya, mikroorganisme ini membentuk lapisan film pada permukaan benda. Tahap ini merupakan tahap primer dimana mikroorganisme berperan sebagai perintis bagi organisme penempel berikutnya yang umumnya berukuran lebih besar. Hewan dan tumbuhan yang selanjutnya menempel pada benda buatan manusia umumnya berasal dari hewan dan tumbuhan yang secara alami hidup menempel (sesil) di sekitar lokasi bangunan pada substrat seperti karang dan lain-lain.
Perkembangan komunitas fouling di laut bergantung pada kemampuan organisme lokal untuk beradaptasi terhadap kondisi permukaan benda buatan manusia yang menjadi habitat barunya. Organisme pertama yang menempel pada permukaan benda buatan adalah larva spesies yang berenang saat benda tersebut terbenam ke dalam air untuk pertama kalinya. Jenis larva yang ada sangat bergantung pada musim. Di ketahui, sekitar 2000 jenis hewan dan tumbuhan ditemukan menempel pada berbagai benda buatan manusia. Namun hanya sekitar 50 – 100 jenis saja yang umum ditemukan, termasuk bivalvia (tiram dan kerang), bernakel, anggota phylum Bryozoa, cacing tabung, polychaeta dan tumbuhan dari alga hijau dan alga coklat (Bortman, et al. 2003).
Pada lunas kapal tanker dan kapal kargo ditemukan organisme penempel dalam jumlah yang sangat banyak. Pada saat naik dok, rata-rata biomassa organisme biofouling yang dikerok dari dinding kapal besar seperti kapal tanker dan kapal kargo dapat mencapai 200 – 400 ton. Tingginya pertumbuhan biofouling ini dipicu oleh pergerakan kapal yang menghasilkan turbulensi di sekitar lunas kapal. Adanya turbulensi ini mempercepat sirkulasi arus di sekitar hewan penempel sehingga makanan berupa plankton yang terbawa arus tersebut lebih banyak yang mendekat kemudian tersaring oleh organisme penempel (Railkin, 2005).
Fouling pada lunas kapal mengakibatkan berkurangnya kecepatan kapal hingga 40 % (Redfield dan Ketchum, 1952 dalam Railkin, 2005). Hal ini menyebabkan naiknya biaya bahan bakar. Daya hambat bertambah oleh adanya penempelan oleh mikro dan makrofouling. Dampak yang paling besar diakibatkan oleh makrofouling yang menyebabkan permukaan kapal menjadi lebih kasar (tidak beraturan) sehingga meningkatkan nilai daya hambat. Di Russia, berdasarkan stdanar teknis, kekasaran permukaan lunas kapal tidak boleh melebihi 0.12 mm hingga 0.15 mm saat kapal dibangun. Kenaikan kekasaran permukaan lunas kapal sebesar 0,025 mm dapat meningkatkan daya hambat hingga 2,5 % dan hal ini menyebabkan konsumsi bahan bakar makin meningkat (Gurevich et al., 1989 dalam Railkin, 2005). Pada beberapa kasus, fouling pada baling-baling kapal memberikan efek yang lebih drastis terhadap peningkatan konsumsi bahan bakar dibandingkan dengan biofouling pada lunas kapal.
Efek negatif lainnya dari biofouling adalah berkurangnya efektifitas lapisan antifouling. Hal ini diakibatkan oleh tumbuhnya organisme biofouling terutama dari Phylum Bryozoa yang membentuk lapisan tebal sehingga menutupi cat yang mengdanung zat antifouling. Racun yang dikeluarkan oleh organisme tersebut juga akan mengurangi kemampuan cat antifouling. Selain itu, penempelan oleh Bryozoa menyebabkan tersedianya substrat bagi organisme lain untuk menempel pada dinding kapal. Organisme biofouling juga tumbuh pada jaringan pipa dan memblok lubang pipa tersebut sehingga mempengaruhi kerja mesin dan manuver kapal. Jenis-jenis organisme yang umumnya tumbuh di dalam jaringan pipa adalah bivalvia, hydroid, polychaeta, bernacle, bryozoa dan Ascidians.
Tenggelamnya kapal akibat kegagalan mesin sering terjadi akibat tertutupnya pipa bahan bakar oleh organisme biofouling (Bowes 1987 dalam Railkin et al., 2005) . Kondisi di dalam pipa yang lembab menyebabkan tumbuhnya mikroorganisme terutama bakteri yang menghasilkan media pertumbuhan yang kental dan kemudian memblok aliran bahan bakar sehingga mesin kapal mati secara tiba-tiba. Cuaca buruk dan badai di laut akan menyebabkan kapal tersebut tenggelam.
Efek lain yang berbahaya dari biofouling adalah penempelan pada sistem pendingin mesin kapal dimana bakteri memiliki peran utama (Adamson et al.,1984; Charaklis et al. 1984 dalam Railkin, 2005). Berkembangnya koloni bakteri pada dinding sebelah dalam dari sistem pendingin mesin kapal akan memicu larva invertebrata untuk melekat dan mempercepat proses biofouling. Lapisan mikro dan makrofouler yang terbentuk, bersama dengan sedimen dan bahan yang telah mengalami perkaratan (korosi) akan berperan sebagai buffer antara air yang berada di dalam dengan air yang dimasukkan dari laut melalui pompa. Lapisan biofouler ini akan menahan panas yang seharusnya berpindah ke air laut yang dipompa tadi sehingga hal ini akan mengurangi efektifitas kerja dari sistem pendingin mesin kapal. Konsumsi bahan bakar pun lebih besar sehingga biaya operasional meningkat. Biofouling juga mempercepat proses perkaratan pada dinding logam dari sistem pendingin mesin kapal (Railkin 2005).
Semua struktur bangunan dan peralatan yang berada di laut dan perairan tawar, seperti: pipa minyak, rambu-rambu navigasi di jalur pelayaran laut, pelampung, penambangan minyak lepas pantai, berbagai fasilitas pelabuhan dan struktur yang bersifat statis lainnya tidak lepas dari ancaman biofouling. Hidroid, bernakel, moluska dan bryozoa umumnya akan menempel pada pipa yang digunakan untuk mengambil air laut (intake water pipe). Biomassa hidroid yang menempel dapat mencapai 6 – 10 kg/m2, bernakel dan bivalvia mencapai 9 kg/m2 dan bryozoa sebesar 2 9 kg/m2. Di daerah temperata, biofouling yang menempel pada pelampung navigasi dapat mencapai 70 kg/m2 (Yan et al., 1990; dalam Railkin 2005) dan seringkali menyebabkan tenggelamnya rambu navigasi tersebut. Biofouling juga sangat berbahaya bagi instalasi terutama Pembangkit Listrik Tenaga Gelombang (Usachev, 1990 dalam Railkin, 2005).
Oganisme penyebab biofouling (fouler) memiliki kemampuan untuk merusak berbagai jenis material. Hal ini telah diteliti dengan intensif pada material yang terbuat dari logam, beton dan kayu. Biokorosi seringkali menjadi penyebab rusaknya bahan material di laut. Hal ini diakibatkan oleh proses elektrokimia yang terjadi dan aktifitas biokimiawi dari organisme. Mekanisme perusakan material disebabkan oleh proses pertumbuhan atau materi yang ada dimakan oleh fouler. Beberapa fouler terspesialisasi untuk membuat liang pada kayu, jenis yang lain merusak beton atau bahkan menyerang kerang bernilai ekonomis tinggi yang sedang dibudidayakan (Railkin, 2005).
Mekanisme korosi bergantung pada heterogenitas elektrokimiawi organisme dan permukaan logam yang terendam di dalam larutan elektrolit (air laut) serta proses penyeimbangan kutub anoda dan katoda (Lyublinskii, 1980 dalam Railkin 2005). Kontak organisme dengan permukaan logam akan berlangsung secara efektif jika melalui media air laut (Redfield dan Ketchum, 1952; Ulanovskii dan Gerasimenko, 1963; Terry dan Edyvean, 1981; Gerchakov dan Udey, 1984; Korovin dan Ledenev, 1990; Lukasheva et al., 1992 dalam Railkin 2005). Mekanisme adhesi yang spesifik untuk masing-masing organisme, metabolisme dan distribusi logam umumnya berpengaruh terhadap proses terjadinya korosi. Pada beberapa kasus, proses adhesi yang kuat pada permukaan logam berlangsung secara perlahan-lahan dan hal ini menjadikan logam tersebut terlindung dari korosi. Korosi dapat terjadi secara tersebar (dispersi) atau menyeluruh (oleh kumpulan organisme sesil yang rapat). Pada kondisi aerobik, agen yang menjadi medium korosi adalah Thiobakteri dan bakteri heterotrofik (e.g., Danreyuk et al., 1980; Kwiatkowska dan Wichary, 2001; Kaluzhny dan Ivanov, 2002 dalam Railkin 2005). Proses korosi yang cepat dari organisme ini berkaitan dengan proses kimiawi yang melarutkan logam, beton dan material lainnya (Sdan, 2000 dalam Railkin, 2005). Sebagai hasilnya, terlihat mikrosite heterogen yang baru dan proses korosi pada permukaan benda pun berlangsung lebih cepat. Aktifitas oksidasi dari enzim Thiobakteri sangat tinggi. Laju oksidasi Besi disulfida beratus-ratus atau beribu-ribu kali lebih tinggi dibdaningkan dengan oksidasi secara kimiawi (Railkin, 2005).
Destruksi struktur besi di dalam air laut terkait dengan senyawa sulfur, yang selalu ada dalam air laut dan di adsorbsi oleh permukaan benda. Reaksi ini melibatkan enzim oksidatif yang menyebabkan terbentuknya sulfur bebas dan asam sulfur yang merupakan penyebab utama efek korosi secara mikrobiologis. Mekanisme Thiobakteri merusak bahan material terjadi melalui proses yang sama. Bakteri mikrofouler dari genus Achromobacter, Bacillus, Flavobacterium, Micrococcus, Pseudomonas, dan Vibrio umumnya bersifat heterotrofik (Gorbenko, 1977 dalam Railkin, 2005). Mekanisme utama dari proses korosi pada material ini terdiri dari pelepasan eksometabolit yang menciptakan medium yang agresif pada permukaan benda (Danreyuk et al., 1980; Sdan, 2000; Kwiatkowska dan Wichary, 2001 dalam Railkin, 2005). Eksometabolit ini berupa asam organik, karbondioksida, hidrogen sulfida, ammonia peroksida dan enzim-enzim.
Jenis hewan seperti bernakel merusak cat yang menutupi besi dengan cara bertumbuh di dalam lapisan cat tersebut. Krustasea muda, dengan cangkang yang tingginya hanya mencapai beberapa mm dapat merusak 5 lapis cat antifouling yang memiliki ketebalan 0,2 mm dengan tepi cangkangnya yang tajam (Tarasov, 1961a dalam Railkin, 2005). Bivalvia dari familia Teredinidae dan Pholadidae tergolong pembor pada kayu (Nair, 1994 dalam Railkin, 2005). Makanan pokok hewan tersebut adalah kayu yang dicerna dengan bantuan enzim sellulase (Mann, 1984 dalam Railkin, 2005). Kadang-kadang ditambah dengan substansi yang mengdanung senyawa Nitrogen yang berasal dari bakteri simbion atau dengan cara mengabsorbsi asam amino terlarut (Turner, 1984 dalam Railkin, 2005).
Sejak jaman dahulu, moluska jenis Teredo navalis dikenal sebagai pembor yang merusak lunas kapal-kapal kayu. Alat yang digunakan untuk mengebor kayu adalah cangkang yang terdapat pada bagian depan tubuh. Cangkang tersebut telah mengalami reduksi sehingga memiliki ukuran yang kecil dan bergerigi tajam pada bagian tepinya yang berfungsi untuk membuat lubang/liang di dalam kayu. Jenis moluska lain yang merusak kayu adalah genera genera Bankia, Xylophaga, dan Martesia. Di pelabuhan, genera ini merusak struktur bangunan dari kayu, kabel fiber seluloid bahkan merusak beton. Martesia tergolong marga moluska yang berbahaya karena mampu merusak material kayu yang telah dilapisi oleh senyawa khusus berupa creosete. Jenis Martesia striata bahkan mampu mengebor kabel listrik yang sangat terlindung dan bahkan mampu melarutkan struktur beton sekalipun (Fischer et al. 1984 dalam Railkin, 2005). Kelompok pembor kayu lainnya adalah krustasea dari familia Limnoriidae dan Chelluridae. Limnoria lignorum ditemukan memakan jamur mikroskopik dan bakteri heterotrofik yang tumbuh di dalam liang (Boyle dan Mitchell, 1984 dalam Railkin, 2005). Makanan dari jenis Krustasea lainnya umumnya relatif sama. Mikroorganisme ini juga hidup dalam tegumen hewan pembor dan menyebarkan spora ke dalam liang kayu. Dengan cara ini organisme tersebut “berkebun” fungi dan mikroba. Tidak seperti Terenid yang mampu merusak kayu secara total hanya dalam beberapa bulan musim panas, jenis krustasea yang memboring secara cepat relatif jarang ditemukan. Pada Limnoria, hanya mencapai 2 cm per tahun. Krustasea hanya membor pada daerah permukaan saja. Dengan perlahan-lahan dalam waktu beberapa tahun, jenis Krustasea ini akan mampu memboring hingga pada bagian tengah dari kayu (Railkin, 2005).
Tributyltin (TBT) adalah senyawa organik turunan dari tetravalent tin. Senyawa ini dicirikan oleh adanya ikatan kovalen antara atom karbon dengan atom timah dan memiliki rumus umum (n-C4H9)3 Sn-X (dimana X adalah anion). Kemurnian dari tributyltin oxide (TBTO) umumnya diatas 96%, sedangkan kelompok Butyltin yang memiliki konsentrasi lebih rendah adalah senyawa turunan dibutyltin, tetrabutyltin dan senyawa trialkyltin lainnya (Dobson dan Cabridenc, 1990).
TBT merupakan cairan yang tidak berwarna dengan bau khas dan kepadatan relatif 1.17 – 1.18. Daya larut dalam air tergolong sangat rendah berkisar antara <1.0 dan >100 mg/liter, tergantung pada pH, suhu dan anion dalam air (yang menentukan spesiasi Butyltin). Dalam air laut dengan kondisi normal, TBT dapat ditemukan dalam 3 bentuk/jenis, yaitu; hidroksida, klorida dan karbonat yang konsentrasinya berada dalam kesetimbangan. Pada pH 7.0, bentuk yang dominan adalah Bu3SnOH2+ dan Bu3SnCl, pada pH 8, yang dominan adalah Bu3SnCl, Bu3SnOH, dan Bu3SnCO3-, sedangkan pada pH di atas 10, bentuk yang dominan adalah Bu3SnOH dan Bu3SnCO3-.
Senyawa Tributyltin terdaftar sebagai moluskisida, sebagai antifoulan pada kapal, perahu, karamba, jaring, pengawet kayu, desinfektan, biosida untuk mesin pendingin, sistem pendingin pembangkit listrik, pabrik kertas, pabrik fermentasi bir, pabrik tekstil dan penyamakan kulit. TBT pertama kali dilepaskan ke pasar dalam bentuk senyawa yang diizinkan. Penggunaan TBT kemudian berkembang menjadi campuran cat dengan pelarutan yang terkontrol dan tersedia dalam bentuk matriks ko-polimer. Matriks karet juga ditambahkan pada cat untuk memperlambat pelepasan TBT ke lingkungan sekitarnya dan memberikan efek perlindungan yang lebih panjang sebagai cat antifouling dan moluskisida. TBT tidak digunakan dalam bidang pertanian karena sifatnya yang sangat toksik bagi tumbuhan (Dobson dan Cabridenc, 1990).
Sebagian besar negara di dunia membatasi penggunaan cat antifouling yang mengdanung TBT karena memberikan efek negatif bagi kerang. Aturan yang ditetapkan tiap-tiap negara bervariasi, namun sebagian besar negara melarang penggunaan cat yang mengdanung TBT untuk kapal yang berukuran kurang dari 25 meter. Beberapa negara tetap mengizinkan penggunaan cat ini khusus untuk kapal yang memiliki lunas dari alumunium. Sebagai tambahan, beberapa aturan hanya terbatas untuk cat yang memiliki laju pelarutan 4 atau 5 µg/cm2 per hari (Dobson dan Cabridenc, 1990).
Kandungan TBT yang tinggi di dalam air, sedimen dan biota telah ditemukan pada lokasi yang dekat dengan aktifitas kapal terutama di daerah pelabuhan, marina, tempat sdanar kapal, dok kering, jaring, karamba dan mesin pendingin. Kondisi pasang-surut dan turbiditas dari air juga mempengaruhi konsentrasi TBT.
Konsentrasi TBT umumnya mencapai 1.58 µg/liter di air laut dan estuari, 7.1 µg/liter di air tawar, 26.300 µg/kg di sedimen pantai, 3.700 µg/kg di sedimen air tawar, 6,36 mg/kg di tubuh bivalvia, 1,92 mg/kg di tubuh gastropoda dan 11 mg/kg di dalam tubuh ikan. Namun, konsentrasi maksimum ini tidak secara representatif mewakili keseluruhan kondisi di tiap-tiap negara di dunia karena metode sampling yang berbeda. Demikian pula data yang lama (1970-1990) sudah tidak dapat dibdaningkan dengan data yang baru mengingat adanya perkembangan metode analisis TBT di air, sedimen dan jaringan tubuh organisme (Dobson dan Cabridenc, 1990).
TBT bersifat toksik pada organisme dan telah digunakan secara komersial sebagai bakterisida dan algisida. Konsentrasi TBT yang mengakibatkan efek toksik pada organisme bervariasi menurut spesies. TBT lebih toksik pada bakteri gram positif (dengan KMI = konsentrasi minimal inhibitor = 0,2-0,8 mg/L) dibdaningkan dengan gram negatif (dengan KMI = 3 mg/L). KMI TBTO Asetat untuk jamur adalah : 0,5-1 mg/L dan pada alga hijau Chlorella pyrenoidosa sekitar 0.5 mg/L. Produktifitas primer komunitas alami alga di perairan tawar akan berkurang sebesar 50% pada konsentrasi TBTO 3 µg/L. Saat ini kategori pengamatan dalam bentuk nilai no-observed-effect level (NOEL) untuk 2 jenis alga adalah 18 dan 32 µg/L. Derajat toksisitas untuk mikroorganisme laut juga bervariasi menurut spesies dan metode studi yang dilakukan. Namun nilai NOEL sangat sulit untuk ditetapkan tetapi kemungkinan berkisar di bawah 0,1 µg/L. Konsentrasi Algisidal yang ada bervariasi antara < 1,5 µg/L hingga > 1000 µg/L untuk spesies yang berbeda (Dobson dan Cabridenc, 1990).
TBT tergolong senyawa yang sangat sulit terdegradasi di alam. Namun pada beberapa kondisi lingkungan tertentu, diketahui bahwa TBT dapat diuraikan menjadi senyawa yang lebih sederhana. Umumnya TBT lebih cepat terdegradasi pada kondisi lingkungan yang ekstrim dan berlangsung terus menerus. Adanya kondisi-kondisi tertentu yang harus dipenuhi oleh faktor lingkungan inilah yang menyebabkan TBT sangat lambat terurai di alam di samping karakter TBT itu sendiri yang memiliki daya larut dan sifat lipofilik yang rendah (Dobson dan Cabridenc, 1990).
Sebagai hasil dari kelarutan dan karakter lipofilik yang rendah, TBT di adsorbsi ke dalam partikel. Dari sejumlah TBT yang masuk ke dalam sistem perairan, sekitar 10% hingga 95% dari senyawa tersebut akan bergabung dengan partikulat melalui proses adsorbsi. Berkurangnya kandungan TBT dari dalam air bukan disebabkan oleh proses desorbsi tetapi melalui proses degradasi. Kemampuan adsorbsi bergantung pada salinitas, faktor fisik lingkungan, ukuran partikel tersuspensi, jumlah materi tersuspensi, suhu dan ada tidaknya bahan organik terlarut (Dobson dan Cabridenc, 1990).
Degradasi TBTO terjadi karena pemutusan ikatan karbon-timah. Hal ini dapat terjadi melalui berbagai mekanisme yang terjadi secara terus menerus di alam, termasuk mekanisme fisik-kimiawi (hidrolisis dan fotodegradasi) dan mekanisme biologis (degradasi oleh mikroorganisme dan metabolisme oleh organisme tingkat tinggi). Proses hidrolisis senyawa organotin terjadi di bawah kondisi pH yang ekstrim yang jarang terjadi di alam (Dobson dan Cabridenc, 1990).
Fotodegradasi dibuktikan melalui eksperimen di laboratorium dimana senyawa TBT di sinari dengan cahaya UV pada panjang gelombang 300 nm hingga 350 nm. Pada kondisi sebenarnya, fotolisis terbatas oleh panjang gelombang yang dipancarkan oleh cahaya matahari dan dibatasi oleh penetrasi gelombang UV yang masuk ke dalam perairan. Kehadiran bahan yang sensitif terhadap cahaya dapat mempercepat terjadinya fotodegradasi (Dobson dan Cabridenc, 1990).
Biodegradasi bergantung pada kondisi lingkungan seperti suhu, oksigenasi, pH, jumlah kandungan mineral, ada tidaknya materi organik yang mudah terdegradasi untuk membantu metabolisme, serta kehadiran mikroflora beserta kemampuannya untuk beradaptasi. Faktor lain yang juga berpengaruh adalah konsentrasi TBT dalam keadaan lebih rendah dibdaningkan dengan daya tahan bakteri terhadap zat toksik (LC) (Dobson dan Cabridenc, 1990).
Sebagaimana pada proses degradasi abiotik, penguraian TBT secara biotik juga terjadi melalui pemutusan ikatan Karbon-Timah yang diakibatkan oleh debutilisasi oksidatif yang berlangsung intensif. Sebagai hasilnya adalah Dibutil yang lebih mudah terdegradasi dibdaningkan Tributil. Monobutiltin akan mengalami proses mineralisasi secara lambat. Degradasi anaerobik seringkali terjadi, namun tidak memiliki pengaruh yang nyata terhadap laju penguraian Monobutiltin. Berbagai jenis bakteri, algae dan jamur pendegradasi kayu diketahui memiliki kemampuan untuk mendegradasi TBTO. Waktu paruh TBT di alam sangat bervariasi dan bergantung pada kondisi lingkungan (Dobson dan Cabridenc, 1990). Meskipun beberapa oranisme dapat mendegradasi TBT, namun kerusakan yang ditimbulkan TBT bersifat irreversible (Hyeon Seo Cho et al 2005).
Moluska memiliki bentuk tubuh simetris bilateral, rongga dalam tubuh (coelom) umumnya terbagi menjadi 2 ruang, yaitu: bagian pertama (pericardial chamber) berupa ruang yang berisi organ hati, gonad, nephridia/ginjal dan bagian kedua (perivisceral coelom) memuat organ pencernaan seperti usus. Kedua rongga tersebut membentuk suatu sistem sirkulasi terbuka. Tubuh gastropoda dapat dibedakan menjadi 3 bagian utama, yaitu: kepala, kaki dan sistem pencernaan (massa visceral). Kepala terdiri dari berbagai organ sensorik seperti mata, statocyst (organ yang mengatur keseimbangan) serta tentakel yang berperan untuk mendeteksi mangsa. Tubuh Gastropoda juga diselubungi oleh suatu lembaran kulit epidermal-kutikular tebal yang disebut mantel atau pallium dan memiliki peran yang vital dalam mengorganisasi tubuh. Mantel mengeluarkan calcareous suatu senyawa yang sifatnya keras dan digunakan untuk menyusun cangkang dalam, cangkang luar atau semacam struktur berbentuk lempeng untuk pertahanan diri. Bagian tubuh lainnya yang berukuran sangat besar adalah sekumpulan otot yang membentuk kaki perut (ventral foot) (Ghiselin, M. T., 2005).
Di bagian belakang Gastropoda terdapat ruangan yang terbentuk dari mantel dan massa visceral yang disebut mantel cavity/pallial cavity. Rongga ini memuat insang atau ctenidium, ginjal (nephridia), sistem reproduksi dan organ sensorik epitel khusus yang disebut Osphradia. Air yang masuk ke dalam rongga tersebut akan melalui ctenidia, ginjal, anus dan lain-lain. Gastropoda memiliki semacam lidah atau gigi yang disebut gigi radula. Fertilisasi pada gastropoda dapat terjadi secara eksternal dan internal. Tubuh gastropoda (body wall) tersusun atas tiga lapisan, yaitu: kutikula, epidermis dan otot. Kutikula tersusun dari asam amino dan chonchin (sclerotized protein). Epidermis tersusun dari selapis sel berbentuk kuboid atau kolumnar dengan banyak silia. (Brusca, 2002).
Organ yang menyusun sistem pencernaan pada Gastropoda meliputi : mulut, gigi radula, esophagus, lambung, usus, kelenjar pencernaan dan berakhir di anus . Organ respirasi utama adalah ctenidium (insang) yang berhubungan langsung dengan sistem peredaran darah. Pertukaran O2 dan CO2 terjadi melalui ctenidium. Darah yang kaya akan O2 selanjutnya masuk ke jantung dan diedarkan ke seluruh tubuh. Sistem ekskresi utama adalah ginjal. Sedangkan sistem reproduksi meliputi oviduk, gonad , seminal receptacel (tempat berlangsungnya fertilisasi) pada betina dan vas deferens, penis serta testis pada jantan (Brusca, 2002).
Kelimpahan dan keanekaragaman jenis gastropoda merupakan bagian yang sangat penting dari jaring-jaring makanan dimana gastropoda berperan sebagai herbivor, carnivor, omnivor atau detritivor (scavenger). Beberapa jenis gastropoda bersifat parasit. Jenis lainnya terspesialisasi untuk memanfaatkan makanan dari bahan yang keras dan sulit dicerna seperti kayu dan lain-lain. Jenis gastropoda yang besar seperti Charonia tritonis sangat berperan dalam mengontrol laju populasi bintang laut bulu seribu Acanthaster planci yang dapat merusak terumbu karang (Brusca, 2002).
Sistem reproduksi hewan bentos seperti moluska umumnya terjadi melalui fertilisasi eksternal. Namun, beberapa spesies diketahui melakukan pembuahan melalui fertilisasi internal. Moluska umumnya memiliki sepasang gonad atau sepasang organ reproduksi akan tetapi hanya satu gonad saja yang berkembang.
Pada gastropoda, salah satu dari sepasang gonad akan menghilang dan gonad yang lainnya akan menggulung bersama dengan massa visceral. Saluran gonad selalu berkembang dari nefridium kanan. Jika nefridium kanan masih berfungsi untuk membawa hasil ekskresi seperti ditemukan pada ordo Archaeogastropoda, maka saluran gonad tersebut dikenal dengan nama saluran urogenitalia karena bersama-sama digunakan untuk mengeluarkan urine dan gamet. Sebagian besar gastropoda memiliki organ kelamin jantan dan betina yang terpisah (dioecious). Adapula individu yang bersifat hermafrodit (dimana organ kelamin jantan dan betina berada dalam satu individu). Namun hanya satu gonad saja (ovotestis) yang masih tersisa (Brusca, 2002).
Pada kebanyakan gastropoda, sistem reproduksi terisolasi dimana organ reproduksi betina dilengkapi dengan silia atau struktur serupa tabung yang membentuk vagina dan oviduk (pallial duct). Tabung tersebut berkembang ke arah dalam dari dinding mantel dan berhubungan dengan saluran genital. Oviduk dapat pula terspesialisasi membentuk kantong penyimpan sperma atau saluran untuk mengeluarkan telur. Sebuah kantung yang disebut seminal receptacle terletak di sekitar ovarium pada akhir saluran oviduk. Telur akan dibuahi di kantung ini sebelum memasuki saluran sekretori oviduk yang panjang. Pada gastropoda betina, juga ditemukan semacam kantung untuk kopulasi (copulatory bursa) yang terletak pada akhir saluran oviduk dimana sperma diterima saat terjadi perkawinan (mating). Sperma yang masuk akan melalui sebuah saluran sempit bersilia dalam oviduk dan tiba di seminal receptacle dimana akan terjadi fertilisasi internal. Kelenjar sekretori pada oviduk mengalami modifikasi membentuk kelenjar yang menghasilkan albumin dan sebuah kelenjar mukosa. Kebanyakan gastropoda dari Subkelas Opistobranchia mengeluarkan telur yang telah dibuahi ke lingkungan perairan dan meletakkannya pada struktur seperti jelly yang terbuat dari mukopolisakarida atau semacam serabut/benang-benang yang sangat halus yang dihasilkan oleh kelenjar sekretori (Brusca, 2002).
Pada gastropoda yang memproduksi selubung, kapsul atau cangkang telur, individu jantan umumnya memiliki penis sebagai alat untuk mentransfer sperma (spermatofor). Fertilisasi internal kemudian terjadi sebelum selubung telur terbentuk. Penis gastropoda berasal dari dinding tubuh yang berkembang memanjang dan muncul dibelakang tentakel kepala bagian kanan. Saluran genital jantan disebut vas deferens termasuk kelenjar prostat yang berfungsi menghasilkan cairan semen (seminal). Pada kebanyakan moluska, daerah awal dari saluran oviduk berfungsi sebagai tempat untuk menampung atau menimpan sperma yang disebut juga seminal vesicle (Brusca, 2002).
Hermafrodit simultan dan Hermafrodit sekuensial umum ditemukan pada gastropoda. Pada saat kopulasi, salah satu individu berperan sebagai jantan dan individu yang lain sebagai betina atau kedua individu gastropoda tersebut saling bertukar sperma. Pada gastropoda yang bersifat sesil seperti limpet, tipe yang sering ditemukan adalah hermafrodit protandri. Pada Crepidula sp, sejenis gastropoda yang bersifat hermafrodit, sekelompok individu akan bergerak naik pada saat musim kawin dan bertumpuk di atas individu lainnya yang menempel pada substrat. Individu yang berada di atas merupakan jantan dan yang di bawah merupakan betina. Setiap individu Crepidula sp jantan tersebut akan menggunakan penisnya yang panjang untuk membuahi betina yang ada dibawahnya. Peran jantan dan betina ini umumnya terus berlangsung dalam jangka waktu yang lama. Jika sekelompok Crepidula sp jantan hidup dalam komunitas yang terisolasi, maka akan ada beberapa individu yang mengalami perubahan organ kelamin menjadi betina. Jika telah mengalami perubahan maka individu tersebut tidak akan dapat berubah kembali menjadi jantan karena organ reproduksi jantan yang dimiliki sebelumnya telah mengalami degenerasi (Brusca, 2002).
Reproduksi pada dasarnya merupakan suatu upaya dari individu atau kelompok organisme untuk beradaptasi terhadap kondisi lingkungan dalam jangka waktu yang panjang atau untuk melestarikan spesiesnya. Pada beberapa jenis hewan tingkat rendah yang berumur pendek, perubahan kondisi lingkungan yang datang dengan tiba-tiba (ekstrim) seperti peningkatan suhu secara drastis akan menimbulkan stress. Kondisi tersebut akan merangsang individu yang tertekan untuk segera bereproduksi (melepaskan gamet) guna melestarikan spesiesnya. Dengan demikian, faktor lingkungan berperan penting dalam sistem reproduksi pada organisme laut, termasuk gastropoda. Adanya kondisi lingkungan yang bervariasi juga menyebabkan timbulnya strategi yang berbeda-beda dari setiap jenis gastropoda untuk bereproduksi.
Gastropoda memiliki cara bereproduksi yang bervariasi. Umumnya jantan dan betina terpisah (dioecious) dan terdapat pada individu yang berbeda. Namun ada pula jenis gastropoda yang memiliki organ kelamin jantan dan betina sekaligus dalam satu individu. Fenomena ini disebut hermafrodit (hermaphrodite). Berdasarkan waktu matangnya gonad, hermaphrodite dibagi menjadi 2 jenis, yaitu: Hermafrodit Sinkroni (Simultan) di mana sperma dan ovum matang pada saat yang sama (tanpa memperhatikan apakah individu tersebut dapat membuahi dirinya sendiri atau tidak) dan Hermafrodit Metagoni (beriring)/Sekuensial dimana fase jantan dan betina dalam satu individu terjadi secara berurutan (tidak bersamaan). Berdasarkan awal urutan jenis kelamin yang muncul, maka Hermafrodit Metagoni dibagi menjadi dua, yaitu: Hermafrodit Protandri dimana individu gastropoda awalnya berjenis kelamin jantan kemudian berubah menjadi betina dan Hermafrodit Protogini dimana individu gastropoda awal mulanya berjenis kelamin betina kemudian berubah menjadi jantan. Pada gastropoda, Hermafrodit Protogini lebih umum ditemukan dibdaningkan dengan Hermafrodit Protandri (Sjafei et al. 1992).
Mekanisme reproduksi lainnya yang kemungkinan juga ditemukan pada gastropoda adalah Gonochorisme dimana suatu individu memiliki gonad yang belum terdiferensiasi dengan sempurna sehingga tidak dapat digolongkan sebagai jantan, betina atau kedua-duanya. Berdasarkan proses perkembangan gonadnya, gonochorisme dibagi menjadi 2, yaitu: Gonochorisme berdiferensiasi jika gonad yang awalnya tidak diketahui jenisnya langsung berubah (berkembang) menjadi testis (jantan) atau ovum (betina) dan Gonochorisme tidak berdiferensiasi, jika gonad yang awalnya tidak diketahui jenisnya tersebut terlebih dahulu berkembang menjadi gonad yang menyerupai ovarium lalu kemudian gonad tersebut setengahnya berkembang menjadi jantan dan yang setengahnya lagi berkembang menjadi betina.
Mekanisme reproduksi lainnya yang belum dapat dipastikan keberadaannya pada gastropoda, namun ditemukan pada ikan dan serangga adalah Partenogenesis (gynogenesis), yaitu suatu keadaan dimana terjadi kemunculan individu baru tanpa melalui proses fertilisasi. Kehadiran individu jantan tidak diperlukan. Namun, jika terjadi perkawinan, maka sperma tidak terlibat dalam hereditas dan hanya berfungsi merangsang perkembangan telur saja. Akibatnya individu yang muncul selalu betina. Materi genetik pada individu yang baru muncul diwariskan secara langsung dari induknya (Sjafei et al. 1992).
Pada gastropoda sel-sel germinal (sel-sel kelamin) dibentuk dan berkembang di dalam gonad. Perubahan bentuk dari sel primordial jantan (spermatogonia) menjadi spermatozoa terjadi di testis dan disebut spermatogenesis. Mula-mula spermatogonia berubah bentuk dan berkembang menjadi spermatosit primer. Kemudian membelah secara meiosis menjadi dua sel anak yang disebut spermatosit sekunder. Selanjutnya, spermatosit sekunder mengalami pembelahan meiosis yang kedua membentuk spermatid yang memiliki jumlah kromosom yang haploid.
Sebagaimana halnya dengan spermatogenesis, di ovarium juga terjadi pembentukan oosit yang berasal dari sel germinal oogonia dan disebut oogenesis. Oosit akan mengalami proses penimbunan kuning telur yang nantinya akan menjadi cadangan makanan bagi embrio yang baru terbentuk. Ovarium juga mengeluarkan hormon steroid estrogen termasuk 17β-estradiol yang merangsang hati untuk membentuk vitellogenin yang menjadi prekursor pembentukan kuning telur. Kuning telur akan dibentuk oleh sel-sel follikel ovarium. Proses pembentukan vitellogenin disebut vitellogenesis. Menurut Matty (1985), testoteron memicu perkembangan ciri kelamin sekunder jantan pada hewan betina dan 17β-estradiol memicu perkembangan ciri kelamin sekunder betina pada hewan jantan. Sedangkan Cammack (2006), menyatakan bahwa enzim CYP19 aromatase merupakan senyawa yang berperan besar dalam mengkonversi testoteron menjadi estradiol. Mutasi gen CYP19 dapat menyebabkan defisiensi enzim aromatase yang mengakibatkan kandungan testoteron meningkat drastis. Hal ini akan menyebabkan pseudohermaphroditisme atau imposex pada betina.
Bioakumulasi TBT dalam tubuh organisme terjadi karena sifat TBT yang mudah larut dalam lemak. Faktor Biokonsentrasi yang mencapai 7000 kali konsentrasi TBT di perairan telah ditemukan dalam skala laboratorium. Berbagai jenis moluska dan ikan yang memiliki nilai ekonomis tinggi dan hidup di alam telah dilaporkan terkontaminasi TBT. Mekanisme masuknya senyawa TBT melalui makanan lebih berpengaruh terhadap bioakumulasi TBT dalam tubuh organisme dibdaningkan dengan masuknya senyawa tersebut melalui air. Faktor konsentrasi TBT dalam tubuh mikroorganisme (antara 100 hingga 30.000 kali) dapat menggambarkan besarnya konsentrasi senyawa yang masuk melalui proses adsorbsi dibdaningkan dengan pengambilan langsung melalui dinding sel. Belum ada bukti yang menunjukkan terjadinya transfer senyawa TBT dari organisme perairan menuju ke organisme darat melalui rantai makanan.
TBT di absorbsi melalui saluran pencernaan (20-50% tergantung medianya) dan melalui kulit mamalia (sekitar 10 %). Pada mamalia, TBT dapat ditransfer dari peredaran darah ibu ke janin bayi. Absorbsi TBT berlangsung cepat dan disebarkan ke seluruh jaringan dimana sebagian besar senyawa tersebut akan terakumulasi di hati dan ginjal. Metabolisme TBT pada mamalia berlangsung cepat dimana metabolit akan terdeteksi di aliran darah 3 jam dalam waktu 3 jam sejak pemberian TBT. Studi in vitro menunjukkan bahwa TBT adalah substrat bagi enzim oksidase yang memiliki berbagai fungsi. Namun enzim ini akan mengalami hambatan jika konsentrasi TBT terlalu tinggi. Laju penurunan konsentrasi TBT berbeda-beda pada tiap-tiap jaringan dan pada mamalia waktu paruh biologis dari konsentrasi TBT berkisar antara 23 hingga 30 hari. Metabolisme TBT juga ditemukan pada organisme tingkat rendah dengan laju yang lebih lambat terutama pada Moluska. Dengan demikian kapasitas bioakumulasi akan lebih besar pada moluska dibdaningkan dengan mamalia. Senyawa TBT memiliki kemampuan untuk menghambat proses fosforilasi oksidatif dan mengubah struktur dan fungsi mitokondria. TBT juga diketahui menghambat proses kalsifikasi cangkang terutama pada tiram Crassostrea sp (Dobson dan Crabidenc, 1990).
Penelitian tentang distribusi konsentrasi senyawa organotin seperti butyltin dan phenyltin dalam berbagai jaringan dan organ dari Keong Gading Babylonia japonica menggunakan GC-FPD di teluk Yodoe Tottori Jepang telah dilakukan (Horiguchi et al. 2003). Dari hasil penelitian tersebut diketahui bahwa akumulasi TBT untuk masing-masing organ menunjukkan nilai yang berbeda. Akumulasi TBT ditemukan pada ctenidium (insang), osphradium serta jantung dari keong jantan dan betina. Sedangkan konsentrasi tertinggi dari TPhT (Triphenyltin) pada keong betina ditemukan di ovarium dan pada jantan ditemukan di kelenjar pencernaan (Horiguchi et al., 2006).
Berdasarkan jumlah kandungan TBT yang terakumulasi di tubuh B. japonica lebih dari sepertiga TBT yang terakumulasi di kelenjar pencernaan, baik pada jantan maupun betina. Konsentrasi TBT kemudian secara berturut-turut menurun pada testis, ctenidium (insang), otot dan jantung pada jantan serta otot, ovarium, ctenidium, dan kepala (termasuk dalam susunan syaraf pusat) pada betina. Untuk kandungan TphT, sekitar tigaperempat dari total TPhT terakumulasi di kelenjar pencernaan pada jantan dan satu setengah kali pada betina. Organ berikutnya yang memiliki akumulasi TPhT yang tinggi adalah gonad pada jantan dan betina, diikuti oleh otot, ctenidium dan jantung pada jantan serta otot, oviduk, dan kepala pada betina.
Tingginya akumulasi TBT dan TPhT di kelenjar pencernaan kemungkinan mengindikasikan adanya proses metabolisme kedua senyawa tersebut dengan melibatkan beberapa enzim. Kandungan relatif butyltin dan phenyltin di kelenjar pencernaan dapat digunakan untuk mengukur kemampuan dari Babylonia japonica dalam memproses TBT dan TPhT. Rasio TBT terhadap total tributyltin pada kelenjar pencernaan ditemukan lebih tinggi pada Babylonia japonica dibdaningkan dengan T. clavigera. Hal ini kemungkinan menunjukkan kemampuan metabolisme yang lebih rendah dari Babylonia japonica dalam memproses zat tersebut (Horiguchi et al. 2003).
Kemampuan menguraikan TBT berbeda pada tiap-tiap spesies, sedangkan kemampuan menguraikan TPhT umumnya rendah pada hampir semua spesies. Dari sisi biologis dan ekologis, waktu paruh TBT dan TPhT pada T. clavigera berturut-turut berkisar antara 22 hari dan 347 hari. Waktu paruh biologis diperkirakan antara 50 hari hingga > 100 hari pada Nucella lapillus bergantung pada kondisi lingkungan. Kandungan TBT dan TPht yang relatif tinggi pada jaringan ditemukan dalam sistem reproduksi (ovarium, oviduk, testis) dan kepala (termasuk sistem syaraf pusat), otot dan jaringan di sekitar mantel seperti ctenidium, siphon dan jantung. Pola akumulasi yang sama juga ditemukan pada T. clavigera. Namun, perbedaan pola yang jelas ditemukan pada Ocinebrina erinacea dimana setengah dari kandungan TBT yang ada didalam tubuhnya ditemukan pada capsule gldans. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan pola akumulasi senyawa organotin di antara spesies-spesies gastropoda.
Konsentrasi TBT dan TPhT pada sistem syaraf T. clavigera relatif tinggi. Namun secara keseluruhan, kandungan seyawa organotin dalam spesies tersebut tergolong rendah karena ukuran sistem syaraf dari spesies tersebut relatif kecil . Fakta ini mugkin juga berlaku untuk Babylonia japonica dalam studi ini. Konsentrasi TBT dan TPhT yang sama juga ditemukan pada ganglia Buccinum undulatum. Nishikawa et al. (2004) dalam Horiguchi (2006) mendiskusikan kemungkinan adanya peran TBT dan TPhT dalam memicu terjadinya imposex pada gastropoda. Nishikawa et al. (2004) juga menyatakan bahwa pada manusia, senyawa organotin (TBT dan TPhT) akan berikatan dengan hRXRs (human retinoid X receptors) dengan afinitas yang tinggi. Injeksi 9-cis asam retinoid (RA), ligan alami dari hRXRs ke dalam tubuh T. clavigera memicu timbulnya imposex. Kloning RXR (retinoid X receptors) yang homolog dari T. clavigera menunjukkan bahwa ikatan ligan RXR dari keong tersebut sangat mirip dengan RXR vertebrata dimana reseptor tersebut berikatan dengan 9-cis asam retinoid (RA) dan senyawa organotin. Kanyataan ini menunjukkan bahwa RXR berperan penting dalam memicu perkembangan imposex , proses diferensiasi dan pertumbuhan organ genital jantan pada gastropoda betina.
Selain merusak sistem reproduksi dan sel syaraf, TBT juga dilaporkan menyebabkan gangguan pada pertumbuhan organ tubuh (hyperplasia) dan menimbulkan kerusakan pada material genetik (DNA) yang ada dalam tubuh keong. Hagger et al, (2006) melaporkan bahwa dari sampel Nucella lapillus yang diambil dari sebelah barat daya Inggris, diketahui bahwa DNA dari sebagian besar sampel yang dikumpulkan mengalami kerusakan akibat kontaminasi TBT.
Mortalitas larva dan juvenil dari Babylonia japonica kemungkinan berkaitan erat dengan akumulasi TPhT dan TBT dalam ovarium akibat air laut yang terkontaminasi senyawa organotin tersebut (Coelho et al. 2001; Inoue et al. 2004; Lapota et al. 1993; Li et al. 1997; Nakayama et al. 2005; Ruiz et al. 1995; Treuner AB, Horiguchi T, Takiguchi N, Imai T, Morita M, unpublished data dalam Horiguchi et al. 2006).
Tahap planktonik dari Babylonia japonica diperkirakan berlangsung 4-5 hari (Hamada et al. 1988, 1989 dalam Horiguchi et.al 2006). Rekruitmen larva veliger dari populasi lain tidak diketahui. Kegagalan reproduksi keong dewasa akibat imposex menyebabkan menurunnya populasi B. Japonica dalam beberapa tahun di Jepang. Hal ini terlihat dari menurunnya jumlah larva yang dihasilkan setiap tahunnya. Dengan demikian, keberadaan larva yang berenang bebas dalam air selama masa perkembangan larva merupakan salah satu faktor yang menentukan dalam kemampuan reproduksi dari keong yang populasinya terkontaminasi senyawa organotin (Bryan et al. 1986; Gibbs dan Bryan 1986; Gibbs et al. 1988, 1990 1991 dalam Horiguchi et.al 2006).
Berdasarkan survei imposex dan konsentrasi organotin dalam tubuh Thais clavigera (Horiguchi et al. 1994 dalam Horiguchi et al. 2006), kontaminasi TBT dan TPhT relatif serius di sepanjang pantai Prefecture Tottori terutama di Teluk Miho di mana sampel Babylonia japonica dalam studi ini diambil. Konsentrasi TBT dan TPhT relatif tinggi dalam ovarium betina. Konsentrasi kedua senyawa organotin tersebut dalam gonad berkorelasi positif dengan panjang penis yang tumbuh pada gastropoda betina dari Babylonia japonica sebagaimana juga ditemukan pada Thais clavigera (Hyeon Seo Cho, et al. 2005 dan Horiguchi et al. 1994; Shim et al. 2000 dalam Horiguchi et al. 2006)
Eksperimen Laboratorium menunjukkan bahwa TBT dan TPhT memicu pembentukan imposex pada tubuh Thais clavigera (Horiguchi et al. 1995, 1997a dalam Horiguchi et al. 2006). Dengan demikian, kemungkinan imposex pada Babylonia japonica juga dipicu oleh TBT dan TPhT relatif tinggi. Namun, sulit untuk mengetahui berapa konsentrasi senyawa organotin yang dibutuhkan untuk memicu timbulnya gejala imposex tersebut. Gibbs et al (1987) dalam Horiguchi et al.(2006) menyatakan bahwa konsentrasi TBT (di seluruh tubuh) yang dapat memicu timbulnya imposex pada Nucella lapillus sekitar 20 ng Sn/g berat kering yang diperkirakan setara dengan 10-12.5 ng TBT/g berat basah dengan asumsi bahwa konsentrasi senyawa organotin yang dihitung dalam berat kering sekitar 4 atau 5 kali lebih besar dari konsentrasi dalam berat basah. Berdasarkan perhitungan di atas, maka untuk Thais clavigera diperoleh perkiraan konsentrasi minimal dari senyawa organotin sebesar 10-20 ng/g berat basah yang dapat menimbulkan imposex (Horiguchi et al. 1994 dalam Horiguchi et al. 2006). Untuk Babylonia japonica, karena keterbatasan eksperimen dan analisis data, maka sensitivitas terhadap TBT dan TPhT yang dapat menimbulkan imposex masih sulit untuk diperkirakan atau dibdaningkan dengan jenis lainnya seperti Nucella lapillus, Ocinebrina erinacea, U. cinerea, dan T. clavigera (Bryan et al. 1987; Gibbs et al. 1987, 1990, 1991; Horiguchi et al. 1994, 1995 dalam Horiguchi et.al 2006).
Variasi temporal dalam penilaian perkembangan reproduksi dari Babylonia japonica berbeda antara betina (termasuk betina yang mengalami imposex) dan jantan.
Musim memijah dari Babylonia japonica berlangsung antara akhir bulan Juni hingga awal Agustus (Kajikawa et al. 1983 dalam Horiguchi et. al 2006). Pematangan telur pada keong betina tampaknya mengalami penundaan dibdaningkan dengan pematangan sperma pada jantan. Adanya penundaan ini ditdanai dengan adanya betina yang belum mencapai kematangan gonad selama musim pemijahan. Pematangan gonad pada saat yang sama masih ditemukan pada populasi Babylonia japonica yang berasal dari perairan Teradomari Prefecture Niigata Jepang. Sedangkan populasi Babylonia japonica di Tottori tidak menunjukkan adanya pematangan gonad pada betina. Padahal, populasi keong ini telah lama dibudidayakan dan memiliki musim pemisahan yang serentak di seluruh perairan Jepang. Adanya penundaan pematangan gonad ini diduga menjadi salah satu penyebab menurunnya jumlah telur yang dipijah oleh Babylonia japonica di bak-bak budidaya dan kemungkinan berkaitan dengan imposex.
Takeda (1979; 1983) dalam Horiguchi et al (2006) melaporkan bahwa spermatogenesis dan Oogenesis ditemukan pada salah satu organ hermafrodit gastropoda yang dikebiri terutama gonad pada siput Limax marginatus betina yang diberi perlakuan dengan hormon 17β-estradiol dan siput jantan jenis yang sama yang diberi testoteron. Pemberian 17β-estradiol juga merangsang memijahnya telur pada spesies keong ini. Metabolisme in-vitro dari danrostenedione dan identifikasi steroid endogen (danrosteron, dehydroepidanrosteron, danrostenedion, 3α-danrostanediol, estron, 17β-estradiol, dan estriol) oleh gas chromatography–mass spectrometry (GC-MS) telah dilaporkan pada jenis Helix persa (Le Guellecet al. 1987 dalam Horiguchi et al 2006). Beberapa steroid (danrosteron, estron, 17β-estradiol, ethinylestradiol, dan testosteron) juga telah diidentifikasi menggunakan GC-MS pada gonad Babylonia japonica. Identifikasi estrogen sintetik ethinylestradiol pada gonad menunjukkan adanya kontaminasi habitat dari Babylonia japonica (Lu et al 2001 dalam Horiguchi et al 2006).
Penambahan testoteron (danrogen) untuk mereduksi konsentrasi enzim aromatase pada keong betina yang terkontaminasi TBT diperkirakan akan memicu terjadinya imposex pada gastropoda (Gooding 2003 serta Bettin et al. 1996; Matthiessen dan Gibbs 1998; Spooner et al. 1991 dalam Horiguchi et al., 2006). Beberapa neuropeptida yang dilepaskan oleh ganglia visceral, ganglia serebral atau kelenjar prostat dari gastropoda seperti Aplysia californica dan Lymnaea stagnalis adalah merupakan hormon yang merangsang pemijahan, ovulasi dan pelepasan telur (Chiu et al. 1979; Ebberink et al. 1985 dalam Horiguchi et al 2006).
Féral dan Le Gall (1983) dalam Horiguchi et al 2006, menyatakan bahwa timbulnya imposex yang diakibatkan oleh TBT pada keong Ocinebrina erinacea mungkin berkaitan dengan pelepasan neural morphogenic controlling factors. Pernyataan tersebut merupakan hasil dari penelitian yang dilakukan menggunakan kultur jaringan in vitro dari jaringan di sekitar penis yang terbentuk pada jenis limpet Crepidula fornicata yang belum dewasa dan sistem syaraf yang diisolasi dari jantan atau betina keong O. erinacea pada media yang mengdanung TBT 0,2 µg/L. Akumulasi TBT dan TPhT pada sistem syaraf pusat dari Haliotis gigantea, Nucella lapillus dan Thais clavigera (Horiguchi et al 1992; 2003; Bryan et al. 1993 dalam Horiguchi et al. 2006) dapat memberikan efek toksik pada sistem neuro-endokrin. Oberdörster dan McClellan-Green (2000; 2002) dalam Horiguchi et al 2006 melaporkan bahwa pemberian APG Wamide, sebuah neuropeptida yang dilepaskan oleh ganglia serebral gastropoda seperti Lymnaea stagnalis yang terkontaminasi TBT pada keong betina Ilyanassa obsoleta secara signifikan memicu terjadinya imposex. Sedangkan Gooding et.al. (2003) melaporkan bahwa TBT mereduksi akumulasi testoteron sebagai ester asam lemak pada Ilyanassa obsoleta sehingga hal ini diduga menjadi penyebab imosex pada spesies keong tersebut.
Sekitar 150 jenis gastropoda dilaporkan ditemukan mengalami gejala imposex di seluruh dunia. (Bech 2002a, 2002b; Fioroni et al. 1991; Horiguchi et al. 1997b; Marshall dan Rajkumar 2003; Sole et al. 1998; ten Hallers-Tjabbes et al. 2003; Terlizzi et al. 2004 dalam Horiguchi et l 2006). Sebagian besar spesies gastropoda tergolong familia Muricidae seperti : Nucella lapillus, Ocenebra erinacea, Thais clavigera, Urosalpinx cinerea), Buccinidae (Babylonia japonica, Buccinum undatum, Neptunea arthritica arthritica), Conidae (Conus marmoreus bdananus, Virroconus ebraeus), dan Nassariidae (Ilyanassa obsoleta, Nassarius reticulatus) dari ordo Neogastropoda. (Fioroni et al. 1991; Horiguchiet al. 1997b dalam Horiguchi et al., 2006).
Horiguchi et al (1997b) dalam Horiguchi et al (2006) menyatakan bahwa sekitar 39 jenis gastropoda menunjukkan gejala imposex (7 mesogastroposa dan 32 jenis neogastropoda). Sebagian besar menunjukkan kontaminasi senyawa organotin (TBT dan TPhT) yang akut yang menyebabkan menurunnya populasi gastropoda secara drastis akibat imposex. Oleh karena itu, gejala imposex dijadikan sebagai bioindikator adanya pencemaran atau kontaminasi senyawa organotin di suatu perairan. Penelitian tentang imposex dapat dilakukan dengan melihat penyimpangan morfologis pada gastropoda maupun dengan menggunakan metode histologis (Bryan et al. 1986; Gibbs dan Bryan 1986; Gibbs et al. 1988, 1990, 1991; Horiguchi 2000; Horiguchi et al. 1994, 2000a; Oehlmannet al. 1996; Schulte-Oehlmann et al. 1997 dalam Horiguchi et al. 2006).
Keong Gading Babylonia japonica (Neogastropoda: Buccinidae), hidup pada substrat berpasir atau berlumpur di daerah perairan yang dangkal (dengan kedalaman berkisar 10-20 m) dari selatan Pulau Hokkaido hingga Kyushu, Jepang. Jenis ini tergolong pemakan bangkai (scavenger) di ekosistem pantai dan secara tradisional menjadi spesies target untuk usaha komersial di Jepang. Imposex pada Babylonia japonica ditemukan pertamakali pada tahun 1970-an dan berakibat pada penurunan hasil tangkapan secara drastis pada awal tahun 1980-an di seluruh Jepang (Horiguchi dan Shimizu 1992 dalam Horiguchi et al., 2006). Banyak usaha telah dilakukan untuk memulihkan populasi keong ini termasuk melakukan pembenihan di bak-bak budidaya (hatchery) dan pelepasan juvenil ke laut. Sekitar 90 % dari juvenil yang diproduksi di Jepang berasal dari hatchery di Prefecture Tomari dan Tottori Jepang Barat. Total hasil tangkapan Babylonia japonica diketahui menurun drastis sejak tahun 1984, 2 tahun setelah penemuan pertama dari individu yang menunjukkan gejala imposex.
Hasil penelitian menunjukkan peningkatan persentase imposex dan persentase rata-rata panjang penis yang ditemukan pada keong betina (Hamada et al. 1988, 1989; Horiguchi 1998; Kajikawa 1984; Kajikawa et al. 1983 dalam Horiguchi et al 2006). Jumlah kapsul telur yang keluarkan oleh Babylonia japonica dewasa di hatchery dan jumlah juvenil yang dilepaskan secara sengaja mengalami penurunan sejak pertengahan tahun 1980-an. Introduksi Babylonia japonica dewasa dari Prefecture Niigata pada tahun 1992 untuk menghasilkan benih yang akan dilepaskan ke alam mengalami kegagalan karena juvenile yang lahir di bak-bak pemijahan banyak yang mati. Hingga saat ini upaya rehabilitasi populasi Babylonia japonica tidak pernah dapat mengembalikan populasi keong tersebut seperti tahun 1970-an sebelum terkena imposex. Tahun 1996, hatchery di Tottori yang digunakan untuk memijahkan juvenil keong Gading yang akan dilepaskan ke laut ditutup (Horiguchi et al 2006).
Persentase Imposex keong Babylonia japonica yang dikoleksi antara bulan Desember 1988 hingga November 1989 dan bulan Juni 1991 berturut-turut sebesar 82,6 % dan 88,9 %. Penis dan vas deferens ditemukan berkembang dengan baik pada keong betina yang terkontaminasi TBT. Tidak ada blokade terhadap oviduk akibat terbentuknya vas deferens pada keong yang mengalami imposex. Hal ini berbeda dengan simptom imposex yang ditemukan pada Nucella lapillus, Ocinebrina aciculata, dan Thais clavigera (Gibbs dan Bryan 1986; Gibbs et al. 1987; Horiguchi et al. 1994; Oehlmann et al. 1996 dalam Horiguchi et al. 2006).
Bigatti dan Penchaszadeh (2005), melaporkan bahwa jenis keong laut dangkal Odontocymbiola magellanica (Gmelin, 1791) yang berasal dari Golfo Nuevo, Golfo San Jose dan Golfo San Matias di Patagonia, Argentina Selatan diketahui mengalami imposex akibat kontaminasi TBT. Persentase imposex dilaporkan tertinggi (100%) berasal dari sampel yang diambil dekat pelabuhan. Makin jauh dari pelabuhan, persentase individu yang mengalami imposex makin menurun.
Salah satu penyimpangan sistem reproduksi akibat TBT adalah ditemukannya gonad keong Babylonia japonica betina yang memproduksi sperma. Hal ini dikenal sebagai ovarian spermatogenesis (ovotestis). Horiguchi et. al (2006), melaporkan bahwa dari 92 betina normal dan imposex dari keong Babylonia japonica yang diuji, 6 individu (1 betina normal dan 5 betina imposex) atau sekitar 6,5 % dari total populasi yang diuji menunjukkan gejala Ovarian spermatogenesis. Telah diketahui bahwa sebagian besar gastropoda memiliki kelamin terpisah (dioecious) dan hanya sedikit yang bersifat hermafrodit dengan gonad yang memproduksi sperma dan sel telur terus menerus (Fretter 1984; Uki 1989 dalam Horiguchi et al. 2006) dan Iguchi, et al. 2007.
Beberapa anggota ordo Neogastropoda betina diketahui mengalami fenomena Ovarian spermatogenesis misalnya: Nucella lapillus, O. aciculata dan Thais clavigera. Sedangkan dari ordo Archaeogastropoda, betina yang diketahui mengalami ovotestis adalah Haliotis madaka dan Haliotis gigantea. Kedua jenis abalone ini diketahui telah terkontaminasi oleh TBT dan TPhT, namun tidak ditemukan adanya penis yang terbentuk seperti tampak pada gejala imposex (Gibbs et al. 1988; Horiguchi dan Shimizu 1992; Horiguchi et al. 2000b, 2002, 2005; Oehlmann et al. 1996 dalam Horiguchi et al 2006).
Ovarian spermatogenesis juga sering ditemukan pada keong Babylonia japonica betina yang normal tanpa pembentukan penis atau vas deferens. Namun frekuensi kejadian ini relatif rendah (16,7 % dari populasi yang terpapar TBT dan TPhT). Pembentukan penis dan vas deferens serta ovarian spermatogenesis pada betina yang terekspose TBT dan TPhT kemungkinan besar memiliki mekanisme fisiologi yang berbeda dengan imposex. Ovarian spermatogenesis diduga merupakan penyebab utama menurunnya kemampuan keong untuk memijah. Hormon steroid yang terkait dengan reproduksi seperti testoteron dan 17β-estradiol secara fisiologis adalah merupakan senyawa yang penting dalam pembentukan organ reproduksi dan pematangan gonad (spermatogenesis dan oogenesis) pada vertebrata. Hormon steroid yang sama kemungkinan juga mengatur mekanisme reproduksi pada organisme invertebrata termasuk gastropoda (LeBlanc et al. 1999 dalam Horiguchi et al. 2006).
Imposex ditandai dengan berkembangnya ciri-ciri kelamin jantan seperti penis dan vas deferens pada gastropoda betina dari sub kelas Prosobranchia (Smith, 1971 dalam Meirelles, 2007). Abnormalitas ini disebabkan oleh terpaparnya hewan tersebut oleh senyawa organotin (OTs) yang terkandung dalam cat antifouling (Gibbs & Bryan, 1987; Matthiessen & Gibbs, 1998, dalam Meirelles, 2007) yang digunakan secara luas di dunia untuk melindungi kapal dan berbagai struktur berbahan logam (metal) dari ancaman korosi dan biofouling yang secara drastis meningkatkan konsumsi bahan bakar dan memperpendek usia pakai kapal. Studi tentang imposex telah digunakan di beberapa tempat sebagai alat untuk mendeteksi pencemaran oleh senyawa organotin mengingat sulitnya mendeteksi senyawa tersebut dengan metode analisis kimia (Oehlmann et al., 1996 dalam Meirelles, 2007). Di Brazil, imposex telah diamati dari gastropoda familia Muricidae Stramonita haemastoma (Linnaeus, 1767) (Castro et al., 2000; Ferndanez et al., 2002; Ferndanez et al., 2005; Castro et al., 2007a,b dalam Meirelles, 2007 ) dan Stramonita rustica (Lamarck, 1822) (Camillo et al., 2004; de Castro et al., 2004, 2007 dalam Meirelles, 2007) dan pada Olivancillaria vesica (Gmelin, 1791) (Caetano & Absalão, 2003 dalam Meirelles, 2007).
Penelitian yang dilakukan oleh Meirelles (2007) juga menunjukkan adanya indikasi pencemaran oleh senyawa organotin di Brazil. Penelitian tersebut dilakukan terhadap jenis kerang Leucozonia nassa. 54 individu (jantan dan betina) dewasa dikumpulkan secara manual di rataan terumbu Ilha do Japonês, Cabo Frio County, Rio de Janeiro State, South-east Brazil pada bulan Februari 2004 saat surut rendah. Hewan yang telah dikoleksi kemudian dimasukkan ke dalam kotak plastik yang berisi air laut yang diambil dari stasiun yang sama di mana hewan tersebut diambil dan dibawa ke laboratorium untuk di analisis lebih lanjut. Sampel kemudian dianestesi dengan menggunakan larutan magnesium chloride 3.5% (Huet et al., 1995 dalam Meirelles, 2007 ). Bagian-bagian tubuh terutama jaringan lunak dari sampel kemudian diamati dengan menggunakan mikroskop binokuler.
Dari hasil pengamatan ditemukan bahwa Individu Leucozonia nassa yang memiliki oviduk dan penis (mengalami imposex) umumnya berjenis kelamin betina. Pada jantan yang normal, penis umumnya panjang dan memiliki pangkal yang besar (panjang penis= 9.4 ±1.0 mm). Sekitar 98.15% dari seluruh sampel yang dikoleksi berjenis kelamin betina (N=30). Penis yang ditemukan umumnya lebih kecil dari penis jantan (dengan panjang penis=5.96 ± 3.15 mm). Pada beberapa kasus ditemukan pembentukan vas deferens yang lengkap. Salah satu hal yang paling menarik adalah ditemukannya satu individu betina imposex yang menunjukkan gejala biphallia (bi= 2, phallus=penis) atau berpenis ganda. Kedua penis ini berbentuk pipih dan memiliki ukuran yang sama (panjang penis masing-masing 4.35 dan 4.75 mm). Kasus biphallia-imposex ini adalah merupakan penemuan pertama yang dipublikasikan untuk spesies Leucozonia nassa.
Mekanisme imposex pada gastropoda betina dari Sub-kelas Prosobranchia belum sepenuhnya dipahami. Namun, inhibisi (penghambatan) sitokrom P450 yang mendukung aktifitas enzim aromatase (CYP19) (bertanggung jawab dalam mengubah hormon androgen menjadi estrogen) oleh senyawa organotin diduga berperan sebagai pemicu mekanisme imposex. Penghambatan (inhibisi) ini menyebabkan meningkatnya konsentrasi (kandungan) hormon androgen dalam jaringan tubuh (Bettin et al., 1996 dalam Meirelles, 2007). Pada kasus yang ekstrim dimana bioakumulasi senyawa organotin dalam tubuh sangat tinggi, terjadi pembelahan sel tubuh dan pertumbuhan jaringan (proliferasi) yang sangat cepat yang menyebabkan tersumbatnya (terblokirnya) sistem genital gastropoda betina. (Gibbs & Bryan, 1987; Gibbs et al., 1987 dalam Meirelles, 2007). Kondisi ini menyebabkan terjadinya sterilisasi dan kematian pada gastropoda betina akibat akumulasi kapsul (cangkang) telur dalam organ kapsul atau capsule gland (Gibbs & Bryan, 1986; Gibson & Wilson, 2003 dalam Meirelles, 2007). Kegagalan proses reproduksi akibat imposex juga ditemukan pada gastropoda dari jenis Nucella lapillus (Linnaeus, 1758) (familia Muricidae) yang populasinya menurun drastis sejak tahun 1980-an di selatan Inggris (Gibbs & Bryan, 1986 dalam Meirelles, 2007) akibat efek imposex dan terbentuknya intracapsular yang menyebabkan tidak adanya larva yang menetas dari populasi keong yang sehat (Spence et al., 1990 dalam Meirelles, 2007). Hal ini perlu diperhatikan oleh ahli konservasi dan budidaya kerang, mengingat efek imposex yang besar dapat menyebabkan gastropoda yang mengalami perkembangan intrakapsular (pemblokiran sistem genital) akan mengalami kepunahan (Gibbs & Bryan, 1986, dalam Meirelles, 2007).
Pada Nucella lapillus, proses terjadinya imposex dapat dibagi menjadi 6 tahap yang menunjukkan pertambahan derajat maskulinisasi (Gibbs et al. 1987; Oehlmann et al. 1991). Dalam tahap perkembangan individu imposex, terdapat 3 sub-tahap yang berbeda yang terjadi pada populasi Nucella lapillus di Eropa (Oehlmann et al. 1991). Dari tahap 0, dimana betina normal tidak menunjukkan tanda-tanda imposex hingga tahap 4 dimana jumlah dan ukuran organ kelamin jantan bertambah secara gradual tetapi tidak menyebabkan hilangnya kemampuan untuk bereproduksi (Hagger et al. 2006).
Proses imposex diawali pada tahap 1 yang ditandai dengan terbentuknya penis oriment (Tahap 1a) atau bagian vas deferens yang terisolasi (tahap 1b, 1c). Pada tahap 2a. penis oriment berkembang menjadi saluran pineal, sedangkan pada tahap 2b dan 2c bagian vas deferens berkembang lebih pesat, penis oriment masih terlihat. Bagian vas deferens terus tumbuh hingga melewati bagian bawah rongga mantel pada tahap 3. Pada tahap 4, organ kelamin jantan mulai terbentuk sempurna dengan vas deferens yang memanjang mulai dari dasar penis hingga bukaan vagina. Pada tahap 5, oviduk terblok oleh jaringan vas deferens yang berproliferasi atau oleh perkembangan kelenjar prostat. Pada tahap 6 proses maskulinisasi telah sempurna.
Beberapa negara seperti Inggris dan Irldania telah menetapkan peraturan hukum yang melarang penggunaan senyawa organotin (TBT) pada kapal dan struktur bangunan lainnya yang berukuran (panjang) kurang dari 25 meter ( Santillo et al., 2000) dan (Evans et al., 1991; Michin et al., 1995 dalam Meirelles, 2007). Peraturan ini berhasil mengurangi kandungan TBT dalam ekosistem perairan dan efek imposex pada Nucella lapillus (dogwhelk) dalam kurun waktu 6 tahun (Michin et al., 1995 dalam Meirelles, 2007). Studi lain menunjukkan hasil yang menarik terkait efek imposex, seperti pemaparan 3-MC (3-methylcholanthrene) (McClellan-Green & Robbins, 2000 dalam Meirelles, 2007). Senyawa ini berperan menetralisir senyawa organotin yang menyebabkan rusaknya sistem endokrin pada gastropoda. Pemaparan senyawa ini dilaporkan memiliki dampak positif bagi organisme laut yang terkontaminasi TBT, di mana ukuran penis pada jenis Ilyanassa obsoleta betina berkurang (Say 1982, dalam Meirelles, 2007) dan mengembalikan kemampuan jenis tersebut untuk memijah (McClellan-Green & Robbins, 2000 dalam Meirelles, 2007). Masalah utama dari upaya monitoring terhadap kontaminasi senyawa organotin adalah bagaimana mengetahui efek dari setiap tingkatan kontaminasi senyawa organotin pada spesies gastropoda yang menjadi bio-indikator. Dengan kata lain sensitivitas dari setiap spesies terhadap senyawa organotin (yang kemungkinan besar berbeda-beda) belum pernah diuji (Camillo et al., 2004 dalam Meirelles, 2007).
KESIMPULAN
Dari hasil studi literatur dan bahan pustaka tentang efek bioakumulasi Tributyltin (TBT) terhadap sistem reproduksi gastropoda, maka dapat disimpulkan bahwa bioakumulasi TBT menimbulkan berbagai gangguan pada sistem reproduksi sehingga keong yang mengalami gangguan tidak dapat menghasilkan gonad, bertelur, dan bahkan memijah. Imposex pada sistem reproduksi merupakan respon yang paling khas dan paling spesifik dari gastropoda terhadap kontaminasi TBT. Meskipun bagian lain dari gastropoda seperti hati, jantung, ctenidium dan saluran pencernaan juga mengandung akumulasi TBT yang tinggi, namun hanya sistem reproduksi saja yang menunjukkan efek/respon yang jelas dan nyata sehingga digunakan sebagai bioindikator pencemaran TBT. Hingga saat ini, mekanisme imposex pada gastropoda akibat kontaminasi TBT belum dapat dipastikan, karena respon yang ditunjukkan oleh hewan yang diteliti terhadap paparan TBT berbeda-beda bergantung pada jenisnya. Adapun beberapa respon (efek) yang timbul akibat kontaminasi TBT adalah :
  • Imposex. Gangguan ini ditandai dengan terbentuknya ciri-ciri kelamin jantan seperti penis dan vas deferens pada gastropoda betina dari Sub kelas Prosobranchia. Mekanisme imposex pada gastropoda betina dari Sub-kelas Prosobranchia belum sepenuhnya dipahami. Namun, inhibisi (penghambatan) sitokrom P-450 yang mendukung aktifitas enzim aromatase (CYP19) (bertanggung jawab dalam mengubah hormon androgen menjadi estrogen) oleh senyawa organotin diduga berperan sebagai pemicu mekanisme imposex. Gangguan lain yang timbul adalah tertundanya pematangan gonad pada betina sehingga saat musim kawin tiba sangat sedikit juvenil yang terbentuk.
  • Ovarian spermatogenesis, merupakan salah satu penyimpangan sistem reproduksi yang dipicu oleh TBT dimana gonad keong Babylonia japonica betina memiliki kemampuan untuk memproduksi sperma. Meskipun secara alami ovarian spermatogenesis dapat ditemukan pada berbagai jenis keong, namun hal tersebut termasuk jarang terjadi. Adanya kontaminasi TBT menyebabkan meningkatnya persentase keong betina yang mengalami efek ini sehingga menurunkan kemampuan untuk bereproduksi.
  • Imposex-Biphallia, merupakan salah satu jenis imposex yang ditandai dengan terbentuknya penis ganda pada keong betina. Timbulnya efek ini diduga sebagai akibat dari paparan TBT yang tinggi. Salah satu jenis keong yang dilaporkan menderita efek ini adalah Leucozonia nassa.
  • Imposex- Intrakapsular. Pada kasus yang ekstrim dimana bioakumulasi senyawa organotin dalam tubuh sangat tinggi, terjadi pembelahan sel tubuh dan pertumbuhan jaringan (proliferasi) yang sangat cepat yang menyebabkan tersumbatnya (terblokirnya) sistem genital gastropoda betina. Kondisi ini menyebabkan terjadinya sterilisasi dan kematian pada gastropoda betina akibat akumulasi kapsul (cangkang) telur dalam organ kapsul atau capsule gland.
  • Sedangkan beberapa mekanisme yang diperkirakan terjadi pada gastropoda yang mengalami imposex adalah :
  1. Penolakan TBT oleh betina yang kemudian dilepaskan oleh ganglia cerebro- pleural sebagai faktor retrogesif bagi pertumbuhan penis (Feral dan Legal 1983).
  2. Inhibisi (penghambatan) aromatase (Bettin et al. 1996)
  3. Inhibisi Ekskresi Testoteron ( Ronis dan Mason, 1996)
  4. Promosi APGW Amida sebagai faktor morfogenetik penis (Oberdorster dan Mc Clellan-Green, 2000)
  5. Reduksi Ester Asam Lemak Testoteron (Gooding, 2003)
  6. Retinoid X Receptor (Nishikawa et al. 2004).
  7. Kerusakan DNA yang menimbulkan gangguan pada sistem endokrin sehingga memicu pertumbuhan hiperplasmik pada gastropoda (Hagger et al. 2006).
DAFTAR PUSTAKA
Bigatti, Gregorio. dan Pablo E. Penchaszadeh. 2005. Imposex in Odontocymbiola magellanica. (Caenogastropoda; Volutidae) in Patagonia. Communicaciones de La Sociedad Malacologica del Uruguay. Vol. 9 (88: 371-375).
Birnbaum, Linda S. dan Suzanne E. Fenton. 2003. Cancer dan Developmental Exposure to Endocrine Disruptors. Research Review. Journal of Environmental Health Perspectives. Volume 111 (4: 389-394) April 2003.
Bortman, Marci., Peter Brimblecombe, Mary Ann Cunningham, William P. Cunningham, dan William Freedman, (Editor).2003. Environmental Encyclopedia 3rd Edition. Volume I (A-M). Thomson-Gale Publishers. Detroit. USA. 1641 pp + XXIX.
Brady, Bruce, et al. 2006. Imposex Frequency. Marine dan Freshwater Resources Institute (MAFRI),Victoria. Website: http://www.ozcoasts.org.au/indicators/ imposex_ frequency.jsp (diakses Tanggal : 20 November 2008).
Brusca, Richard. C. 2002. The Invertebrates 2nd Edition. Chapter 20 Mollusca. John Wiley dan Sons. New York. USA. 890 p + XXIV
Cammack, R dan General Editors. 2006. Oxford Dictionary of Biochemistry dan Moleculer Biology. Oxford University Press. Inc. New York. 722 p + xv.
Castro, Ítalo Braga, Carlos A. O. Meirelles, Helena Matthews-Cascon dan Marcos Antonio Ferndanez. 2004. Thais (Stramonita) rustica (Lamarck, 1822) (Mollusca: Gastropoda: Thaididae), A Potential Bioindicator of Contamination by Organotin Northeast Brazil. Brazilian Journal of Oceanography, 52 (2) : 135 – 139, 2004.
Dobson, S. dan Cabridenc, R. 1990. Tributyltin Compounds. Environmental Healt Criteria 116. International Programme on Chemical Safety (IPCS). UNDP-ILO-WHO. 179 pages. Website: http://www.inchem.org/documents/ehc/ehc/ehc116.htm. (diakses Tanggal : 20 November 2008).
Ghiselin. Michael T., 2005. Anatomy of Gastropods. Microsoft ® Encarta® 2006. © 1993-2005 Microsoft Corporation. All rights reserved.
Gooding, Meredith P., Vickie S. Wilson, Leroy C. Folmar, Dragoslav T. Marcovich, dan Gerald A. LeBlanc. 2003. The Biocide Tributyltin Reduces the Accumulation of Testosterone as Fatty Acid Esters in the Mud Snail (Ilyanassa obsoleta). Research Article. Journal of Environmental Health Perspectives. Volume 111 (4: 426-430) April 2003.
Hagger, Josephine A., Michael H. Depledge, Jörg Oehlmann, Susan Jobling, dan Tamara S. Galloway. 2006. Is There a Causal Association between Genotoxicity dan the Imposex Effect?. Monograph. Journal of Environmental Health Perspectives. Volume : 114 (Supplement 1 : 20-26) April 2006.
Horiguchi, Toshihiro, Hyeon-Seo Cho, Hiroaki Shiraishi, Mitsuhiro Kojima, Miyuki Kaya, Masatoshi Morita, dan Makoto Shimizu. 2001. Contamination by Organotin (Tributyltin dan Triphenyltin) Compounds from Antifouling Paints dan Endocrine Disruption in Marine Gastropods. Riken Review (Focused on New Trends in Bio-Trace Elements Research) No. 35 May 2001.
Horiguchi, Toshihiro., Mitsuhiro Kojima, Fumihiko Hamada, Akira Kajikawa, Hiroaki Shiraishi, Masatoshi Morita, dan Makoto Shimizu. 2006. Impact of Tributyltin dan Triphenyltin on Ivory Shell (Babylonia japonica) Populations. Monograph. Journal of Environmental Health Perspectives. Volume : 114 (Supplement 1 : 13-19) April 2006.
Hyeon Seo Cho, Soon Woo Seo dan Toshihiro Horiguchi. 2005. Less Recovery from Imposex dan Organotin Pollution in the Rock Shell, Thais clavigera in Korea. Abstract. Symposium 13. Pollutant Response In Marine Organisms (PRIMO). Organized by Environmental dan Life Sciences Department, Eastern Piedmont University. Alessdanria Italy, June 19-22, 2005.
Iguchi, et al. 2007. Hypotheses on Induction Mechanism of Imposex Caused by TBT in Gastropods. Powerpoint Presentation from the Internet.
Knox, George A., 2001. The Ecology of Seashores. CRC Press. Boca Raton. 557 p + viii
Langston, William J. (Editor). 2006. Tributyltin Pollution On a Global Scale. An Overview of Relevant dan Recent Research: Impacts dan Issues. WWF UK. Godalming, Surrey. United Kingdom. 48 pp.
Matty, A. J. 1985. Fish Endocrinology. Timber Press. Portldan Oregon USA. 267 p + xi.
Meirelles, Carlos A. O. Ítalo B. Castro dan Jully C.L. Pinheiro. 2007. A first record of biphallia in imposexed female of Leucozonia nassa (Caenogastropoda: Fasciolariidae). Published on-line: July 2nd, 2007. Journal of the Marine Biological Association (JMBA 2) of the United Kingdom.
Railkin, Alexdaner I., Tatiana A. Ganf dan Oleg G. Manylov (Translator). 2005. Marine Biofouling. Colonization Processes dan Defences. CRC Press dan Taylor-Francis Boca Raton. 303 pp + VII.
Santillo, David, Paul Johnston dan William J. Langston. 2000. Tributyltin (TBT) Antifoulants : A Tale of Ships, Snails dan Imposex. Late Lessons from Early Warnings: The Precautionary Principle 1896–2000. p: 135-148.
Sjafei, Djadja. S., M. F. Rahardjo, Ridwan Affandi, Murniarti Brojo, Sulistiono. 1992. Fisiologi Ikan II. Reproduksi Ikan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) Institut Pertanian Bogor. Jawa Barat.
Strand, Jacob. 2003. Imposex Gastropods as Biomarkers for detect Tributyltin (TBT) Contamination. Website: http://www.dmu.dk/NR/rdonlyres/ (diakses Tanggal : 20 November 2008).
Walmsley, S. 2006. TBT from Antifouling Paint is still Endangering Marine Life (WWF-Evisa). Website: http://www.speciation.net/Public/News/2006/10/11/2445 .html (diakses Tanggal : 20 November 2008).